Jelang tutup tahun 2023, banyak Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mulai berdinas di berbagai instansi, sesuai formasi dan pilihan lamaran. Tak terkecuali, Kemenag RI juga menebarkan abdi sipil negara (ASN) jenis PPPK ke berbagai pelosok negeri. Bukan tanpa alasan, PPPK Kemenag dihadirkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya pelayanan keagaaman dan urusan yang berkaitan dengan keagamaan.
Berbicara ASN dan satuan kerja (Satker), memang sebagian mereka dihadapkan dengan kegalauan tingkat tinggi. Mengapa tidak? Sebab ada ASN yang ditugaskan di luar domisili, bahkan jauh dari tempat asal.
Meskipun sudah menandatangani perjanjian bersedia ditempatkan di seluruh nusantara, namun tidak seutuhnya bisa diterima dengan ikhlas. Hal ini wajar, mengingat tidak semua orang bisa hidup di luar daerah asal dan tempat kebiasaannya. Bahkan, ada yang sudah memposisikan harapan bisa menjadi ASN dengan satker yang telah lama ia mengabdi selama ini.
Sejak mendapatkan SK PPPK, kegalauan terus menghampiri mereka, hidup di bawah bayang-bayang kesedihan, rindu tempat tinggal asal dan keluarga terus menga-nga di benak, tentu membuat mereka kurang gairah melalui hari-hari di ruang rantau, tanah pengabdian.
Pejabat, punya satu alasan untuk menempatkan ASN di wilayah tertentu, misalnya dibutuhkan dan punya kompetensi memajukan daerah target. Dan ini menjadi alasan logis demi pemerataan pembangunan.
Sisi lain, ASN punya banyak alasan agar tidak keluar dari domisili, alasan anak dan istri, orang tua, serta pekerjaan sampingan yang bisa jadi tanpa dia, bisnis itu terhenti. Bahkan, bisa jadi ada tanggung jawab lain yang juga tak kalah penting dengan amanah sebagai ASN. Misalnya bisnis yang memperkerjakan banyak karyawan, atau pesantren yang harus dikontrol tenaga pendidik dan peserta didik.
Mengamati berbagai kondisi dan curahan hati (Curhat) ASN PPPK, baik guru, penyuluh, penghulu, dan tenaga ASN lainnya, memang sangat perlu dipahami dan diberikan ruang untuk menuangkan uneg-uneg, kegalauan, dan kesedihan supaya beban yang seolah-olah memikul bumi itu sirna di hati dan pikiran.
Ketika ASN berdinas di luar domisili, tentu harus meninggalkan rumah, ntah rumah pribadi atau rumah orang tua. Bagi yang sudah menikah, meninggalkan suami, istri, atau anak demi meniti karier. Sejujurnya, siapa pun tak kuasa hidup jauh dengan keluarga, sebab keluarga adalah teman hidup yang tak tergantikan. Namun bila terpaksa harus berpisah, maka galau dan kesedihan takkan terelakkan, serta kerinduan akan terus mendobrak jiwa.
Melalui siang malam dengan buah hati dan kekasih halal memang dambaan semua insan. Itu sebab, pernikahan menjadi dambaan anak Adam. Saat mereka bersatu dalam ikatan suci, ada kebaikan datang, Allah curahkan rahmat dan mereka pun terhindar dari perbuatan dosa. Keduanya saling melengkapi dan melindungi. Ketika berpisah karena alasan karier dan faktor lainnya, fungsi melindungi mulai berkurang dan fungsi mendidik tidak optimal.
Pada dasarnya, membuat sebuah pasangan betah hidup berpisah rumah merupakan tindakan tidak baik. Setiap pasangan, sepantasnya bersatu serumah agar hak dan kewajiban terpenuhi. Bila ada anak, perhatian dan kasih sayang pada anak tercukupi sehingga bisa tumbuh maksimal, termasuk pendidikan.
Islam, bahkan negara pun menitip harapan besar pada pasangan untuk membangun keluarga harmonis, damai, tentram sebagai langkah awal menciptakan masyarakat rukun dan sejahtera. Tujuan dasar pendirian bangsa adalah mewujudkan kesejahteraan dalam masyarakat dan memberikan kedamaian. Ini semua dimulai dari keluarga. Jika keluarga tidak merusak tatanan sosial dengan berbagai penyakit masyarakat, maka negara akan mudah mengatur kehidupan dan melanjutkan pembangunan bangsa.
Hidup berpisah antara suami dengan istri, memang tidak merusak tatanan sosial dan tidak mengganggu orang lain. Tetapi, ada efek yang tidak disadari, yang dapat memperburuk keadaan keluarga. Misal suami dan istri sama-sama berkarier dan harus pisah tempat tinggal karena alasan tugas. Keadaan ini memang sederhana, dan itu tampak sederhana bagi yang tak mengalami. Bagi yang menjalani, tentu berpisah dengan anak atau pasangan bukan perkara gampang. Apalagi berpisah dengan orang tua yang secara adat usianya tak lama lagi, tentu menyedihkan. Pasti semua anak punya keinginan menatap wajah dan mendampingi orang tua saat detik-detik sakratul maut.
Suami itu pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami. Kalau kedua pakaian ini tidak menyatu, maka akan ada yang terbuka. Artinya, ada yang mengabaikan hak dan kewajiban. Ketika amanah tersebut tidak dipenuhi, dalam pandangan agama adalah dosa, dan dosa akan mengundang masalah lain dalam kehidupan setiap orang.
Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Aceh, Drs Tgk Azhari pernah menyebutkan ketika khutbah di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, 1 September 2023, bahwa; penting sekali merajut persatuan, termasuk dimulai dari upaya menjaga keutuhan rumah tangga, sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, sebagai pilar persatuan umat.
Drs Azhari mempertegas, seperti dikutip di laman resmi acehbesar.kemenag.go.id, bahwa; persatuan kunci sebuah keberhasilan satu bangsa. Sebuah keluarga yang bersatu akan mampu menciptakan lingkungan keluarga yang damai dan tenteram. Sebuah organsasi yang bersatu akan mampu merealisasikan visi dan misinya dengan maksimal. Demikian pula sebuah bangsa yang bersatu akan mampu menciptakan masyarakat yang kondusif dan hidup dengan rukun.
Jika merujuk pada teori pernikahan, nikah bertujuan menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dalam bahasa sederhananya, hidup sejahtera dan bahagia.
Implementasi hidup bahagia antara suami dengan istri lumrahnya diwujudkan dalam hidup bersama, serumah sehingga keduanya terlayani dengan baik. Bila seatap, hak suami istri pun mudah terpenuhi. Sebaliknya, bila hidup terpisah dan berjauhan, hak dan kewajiban suami istri sangat rentan terabaikan. Bahkan, hidup berjauhan bukan solusi bagi mereka yang sudah mengikat tali suci pernikahan.
Padahal, keluarga termasuk unit terkecil dalam sebuah bangsa. Baiknya keluarga, akan berdampak baik bagi nasib bangsa. Keluarga sakinah takkan terwujud jika fungsi unit keluarga tidak dijalankan. Di antaranya fungsi religius, edukatif, biologis, perlindungan, bermasyarakat, dan fungsi sosial lainnya.
Melalui fungsi religius, orang tua harus membina keagamaan bagi anak, atau suami mesti mendidik istri. Jika tidak, hak anak untuk mendapatkan pendidikan agama dari orang tua tidak terwujud.
Seorang psikolog, Roslina Verauli mengatakan relasi yang baik antara orang tua yang berbeda tempat tinggal dengan anak harus tetap terjaga, terutama anak usia sekolah. Hal ini sebagai langkah strategis untuk mendeklarasikan keluarga bahagia dan kasih sayang pada anak terpenuhi.
Sebaliknya, seandainya relasi terabaikan, maka kebahagian akan kandas, anak yang semestinya butuh perhatian orang tua justru tidak didapatkan. Efeknya, pertumbuhan anak bisa keluar dari harapan agama dan negara.
Sisi lain, ada ASN yang masih memiliki ibu atau ayah, yang mesti ia rawat karena usia atau penyakit. Mereka ingin melengkapkan bakti pada orang tua jelang sisa-sisa umur yang masih Allah titipkan. Berbakti pada orang tua memiliki dampak ganda, bahkan Allah menjamin kemudahan segala urusan setiap anak yang memperlakukan orang tua dengan baik. Senada dengan pernyataan Ustaz Adi Hidayat, sayang Allah kadang dilekatkankan pada keridaan orang tua.
Untuk memperoleh rida orang tua, anak harus berbakti dengan beragam bentuk berbakti, termasuk berbakti dengan tidak melakukan maksiat pada Allah. Dan paling penting berbakti dengan cara terus mengawasi, mendampingi, dan memperlakukan orang tua selayaknya mereka mengawasi anak semasa kecil.
Memang para ASN butuh penghasilan untuk mempertahankan hidup, selain mengabdi untuk negeri. ASN butuh kebahagian yang bukan sekedar uang, tetapi bisa hidup bersama orang dicintai dan disayangi, ntah orang tua, anak, atau pasangannya. Mereka itu belahan jiwa, ketika jauh dengan belahan jiwa, siapa pun akan merasakan hidup dalam goncangan batin. Akibatnya, nasib amanah sebagai tanggung jawab tidak berjalan normal, sebab masih ada galau dalam ruang hidup.
Karenanya, ASN juga punya keinginan menciptakan keluarga sebagaimana harapan negara dan agama, yaitu keluarga yang saling menunaikan hak dan kewajiban, keluarga yang melahirkan generasi cerdas yang peduli pada bangsa dan agama.
Catatan akhir, perbaiki keluarga dan beri ruang untuk mereka bersatu. Menyatukan keluarga adalah strategi mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan. Sebab bahagia bukan saja tentang uang, tapi tentang bersama orang tercinta meski hidup terbatas.
Benar kata pepatah klasik; meski hujan emas di negeri orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri.
Selamat jadi ASN. Nikmati serunya jadi PPPK di Sabang.
Penulis: Abu Teuming; Ketua Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam (FKPAI) Aceh dan pengamat air mata PPPK sekaligus penikmat sejati curhatan ASN Nusantara.
Jadi terharu 😥...
ReplyDelete