Seleksi PPPK Penyuluh Agama

Share:

Amiruddin (Abu Teuming)

Pro kontra kelulusan Sarjana Pendidikan Islam (SPdI) dan Sarjana Pendidikan (SPd) dalam seleksi PPPK dengan jabatan Ahli Pertama Penyuluh Agama Islam (AP-PAI) makin menghiasi ruang publik, grub, dan media sosial.

Kontroversi ini sangat beralasan, mengingat 45 ribu PAIH se-Indonesia, dominannya penyemat gelar SPdI. Bahkan, minimnya pelamar jabatan AP-PAI karena tersendat regulasi dan ketentuan instansi, sehingga SPdI sejak awal pemetaan honorer dan pendaftaran PPPK sudah mengurungkan niat untuk tak memaksa diri ikut PPPK AP-PAI.

Penulis memantau narasi yang dibangun dalam grub WhatsApp PAIH, facebook, termasuk mendengar keluh kesah secara langsung. Jika dibiarkan, akan terus menuai reaksi dari mereka yang sebelumnya tak ikut daftar PPPK karena alasan SPdI. Sementara saat pengumuman hasil administrasi, beberapa PAIH terlihat lulus meski tersemat gelar SPdI. Seandainya, seleksi terus dilanjutkan hingga tahap CAT, dampak negatif berikutnya sulit dibendung.

Penulis yakin, pihak berwenang di Kemenag setiap saat menerima pertanyaan dan dimintai penjelasan terkait kelulusan berkas PAIH yang bergelar SPdI. Ntah itu via telepon atau pesan WhatsApp.

Maka, kebijakan Saran Perbaikan yang tertuang dalam surat bernomor P.80/Dt.III.III/HM.01/1/2023, yang memuat tiga poin penting sangat patut jadi perhatian dan pertimbangan instansi terkait, khususnya BKN sebagai panitia utama seleksi PPPK.

Ketiga poin itu antara lain;

1. Melakukan verifikasi administrasi ulang;

2. Menyatakan tidak lulus administrasi semua peaerta yang tidak memenuhi syarat pendidikan sebagaimana syarat perundang-undangan;

3. Menyatakan lulus peserta yang melampirkan Surat Pengalaman Kerja dan Portopolio yang ditandai pejabat setempat, serta dilengkapi SK pengangkatan dan telah memiliki NIPA karena telah memenuhi bukti syarat pengalaman kerja yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum.

Analisa saya, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tidak ingin melawan regulasi dan aturan Kementerian PAN-RB dalam rekrutmen PPPK AP-PAI. Dampaknya tentu jadi citra buruk bagi instansi. Sangat mungkin, Kemenpan-RB akan mengurangi kuota PPPK atau CPNS bila diajukan tahun berikutnya.

Kemenag RI bukan menzalimi PAIH bergelar SPdI yang justru selama ini sudah satu atap pemerintahan dengan semboyan Ikhlas Beramal, tapi ingin menjalankan sistem pemerintahan akuntabel, profesional, dan sesuai undang-undang.

Justru Kemenag RI sebagai motor penggerak kerukunan ingin menciptakan kerukunan dalam tubuh penyuluh agama, dengan tidak bisa ikut serta SPdI dalam seleksi PPPK AP-PAI, atas dasar berpedoman pada peraturan.

Jika pemilik SPdI dipaksakan lulus PPPK AP-PAI, maka akan sulit mempertangunggujawabkan pembayaran gaji dan tunjangan. Sebab sistem hukum itu saling berkaitan, jika ada kejanggalan, maka akan jadi masalah, termasuk dalam pembayaran gaji yang bisa jadi temuan dan indikasi korupsi. Nah, saya melihat pihak Kemenag sedang menghindari masalah ini, bukan membentengi SPdI agar tak jadi Penyuluh Agama Islam PPPK.

Logikanya, setiap jabatan  harus punya dasar hukum, sehingga negara layak membayarnya atas pengabdian. Sementara SPdI belum memiliki dasar hukum untuk ikut PPPK AP-PAI. Lalu dengan apa harus dipertanggangjawabkan jika mereka lulus?


2 comments:

  1. Saya setuju dg pendapat dan narasi dari Abu..
    Karena segala sesuatu ada regulasi yg mengatur termasuk ttg pendidikan yang dimaksud dan syarat2 yang lain

    ReplyDelete
  2. Saya setuju Abu teuming, setiap kwalifikasi pendidikan punya tanah tersendiri untuk jabatan nya. Gelar S.pdi untuk guru maka jabatannya di sekolah.begitu juga dengan non guru, selama ini tidak diterima menjadi guru di sekolah. Ya dengan kata lain semua memiliki porsinya masing-masing.

    ReplyDelete

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.