Sepekan ini, di Aceh, bahkan seantero tanah air sedang viral penemuan minyak dan gas (Migas) di lepas pantai laut Aceh, yang disebut blok Andaman II.
Berbagai media lokal dan nasional ikut mengabarkan hasil kerja SKK Migas dengan kontraktornya KKKS. Bermacam respon dari kalangan masayarakat, mulai orang miskin, kaya, dan pejabat memberikan tanggapan atas penemuan yang disebut media sebagai "Harta Karun."
Kita patut bersyukur, atas kerja lelah yang membuahkan hasil ini. Namun, masyarakat Aceh sepertinya belum bersyukur totalitas, sebab belum yakin akan dapat dampak positif dari bisnis migas ini, kecuali orang tertentu.
Terlepas, penulis tak ingin membahas berapa bagian yang kerja, berapa untuk rakyat, dan berapa untuk yang lainnya. Fokus artikel mini hanya pada kearifan lokal, yang sarat nilai Islam, seperti lumrah dipraktikkan di Aceh.
Sepertinya, kita Aceh, patut adakan kenduri laut di sekitar sumur bor migas Aceh yang dikelola perusahaan asal Inggris, Primer Oil di 150 Mil laut.
Teknisnya, macam Pasar Apung di Kalimantan Selatan. Kita kenduri di atas puluhan bahkan ratusan kapal, sambil makan bu kulah dan masak kuah beulanggoeng, dipadukan cuci mulut dengan timphan dan kopi gayo.
Jika memang terancam gelombang besar karena berada di laut dalam, bila perlu sewa kapal pesiar, bawa masyarakat Aceh ke sana untuk gelar prosesi adat laut. Hitung-hitung rekreasi di sumber migas, atau studi banding ke ladang migas Aceh sebagai edukasi. Jika tak demikian, mungkin, tak pernah kesampaian niat ingin melihat langsung perusahaan raksasa migas yang sedang operasi di laut, lain dengan yang di darat.
Pertanyaannya, siapa yang sewa kapal pesiar? Toh kita punya pejabat hebat, berkelas nasional dan internasional. Tentu mereka punya cara, apalagi hanya kapal pesiar, mudah rasanya, asal didukung finansial. Toh, bila dikalkulasikan, keuntungan hasil migas di blok tersebut bisa beli puluhan kapal pesiar, beli, bukan sewa.
Pastinya, hari ini dan beberapa minggu ke depan belum bisa dirupiahkan, sebab pihak perusahaan lagi pasang mor atau paskan posisi berdirinya pipa gas. Istilah lain belum berproduksi. Tapi kan, pasca produksi migas nanti bisa nombok ongkos sewa kapal pesiar. Mungkin, bagian ini hanya kalimat main-main, mudahan jadi kenyataan. Toh tak salah bermimpi yang indah-indah, kadang Allah jadikan kenyataan.
Kembali ke fokus artikel. Tradisi kenduri laut memang warisan indatu bangsa Aceh, yang patut dilestarikan, bahkan Pemerintah Indonesia sangat mendukung berbagai kearifan lokal di tanah air. Sebab, kearifan lokal memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing dan menjadi ajang meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sejak SKK Migas mulai merintis eksploitasi dan eksplorasi migas, sudah mewacanakan mengakomodir berbagai adat, budaya, dan kearifan lokal yang berkembang di wilayah operasi perusahaan migas.
Hal ini perlu dilakukan untuk antisipasi gesekan konflik. Apalagi Aceh punya riwayat kelam soal migas di PT Arun, Lhokseumawe, yang memicu konflik bersenjata 30 tahun. Sejarah ini jangan terulang, jika pun ingin Aceh bangkit dan maju dengan hasil alam, tentu dengan cara bijak, damai, dan menguntungkan semua pihak.
Pemangku adat, seperti lembaga Panglima Laot atau Wali Nanggreo, perlu rasanya mengadakan perhelatan akbar ini. Jika pun tak di laut, miminal di tepi laut, sebagai cara merawat tradisi dan memberikan informasi bahwa tanah dan laut Aceh dipagari oleh adat dan tradisi, yang tidak bisa diabaikan.
Catatan akhir penulis, jika Rafli Kande, dahulu sempat ciptakan lagu sejarah Aceh, yang ada kaitan dengan PT Arun. Hari ini, maunya ada lirik lagu baru, terkait migas Aceh di blok Andaman II.
Khanduri adat laot itu bagus, tetapi bukan karena temuan migas, namun kembali pada tujuan khanduri laot, yaitu mensyukuri hasil tangkapan laut/nelayan.
ReplyDeleteJika memang harus melakukan khanduri yang berkenaan dengan migas, maka khaduri itu adalah bentuk syukuran yang Allah SWT berikan atas temuan migas sebagai hasil bumi di Aceh.