Abu Teuming
Penyuluh Agama Islam Non PNS, KUA Krueng Barona Jaya, Aceh Besar dan Penyuluh Informasi Publik (PIP) Kemkominfo RI dan Wakil Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe)
SEKARANG umat Islam sedang berada pada momen Zulhijah, bulan yang terdapat beberapa amalam penting dan agung, yaitu haji dan kurban. Keduanya amalan istimewa, sebab hanya dilaksanakan setahun sekali. Sayang bila dilewatkan tanpa diaplikasikan, khususnya bagi yang mampu.
Haji dan kurban memang berkaitan dengan harta, tanpa harta, amalan suci ini tidak dapat dilaksanakan. Para ulama sepakat kewajiban haji hanya bagi yang mampu, baik secara finansial dan fisik.
Muslim yang ingin menunaikan haji butuh biaya lumayan besar, berkisar empat puluh juta rupiah bagi yang berdomisi di Indonesia. Memang biaya haji sesuai jarak tinggal dengan Mekah dan Madinah. Selain biaya perjalanan dan konsumsi, juga butuh biaya penginapan. Beruntung muslim yang berdomisili di seputaran dua kota suci itu, termasuk muslim yang bertetanggan dengan Arab Saudi, sebab lebih hemat anggaran ibadah haji.
Namun perlu diingat, biaya sebasar itu tidak seberapa, uang bukan persoalan dan penghalang. Ketika ada niat ingin berhaji, Allah akan membuka jalan, sehingga ada kemudahan harta dan kesehatan yang Allah berikan dari arah tidak disangka-sangka. Sebab itu, jangan berhenti berniat ke baitullah, meskipun harta terbatas, sebab Allah memahami kemampuan dan keinginan hamba. Jika tidak terlaksana haji hingga tutup usia, setidaknya telah berazam dalam hati ingin bersujud dan meratapi dosa di hadapan kakbah.
Allah juga memberikan pahala setimpal bagi hamba yang punya niat baik, meskipun belum sempat ditunaikan. Sa’id bin Al-Musayyib berkata, siapa pun bertekad melaksanakan salat, puasa, haji, umrah atau berjihad, namun ia tidak menunaikannya, maka Allah akan mencatat apa yang ia niatkan.
Tentu niat yang dibarengi keikhlasan dan serius, bukan sekedar angan-angan semata atau pemanis bibir.
Berkurban
Haji dan kurban saling berdekatan, selain berkaitan. Disebut berdekatan sebab menjadi bagian dari rangkaian amalan haji, tentu bagi yang mampu. Realitanya, tidak semua muslim berhaji dan berkurban, karena keterbatasan ekonomi, dalam bahasa agama kerap disebut belum mampu. Allah juga tidak membebankan muslim di luar batas kemampuannya.
Kondisi ini, mengharuskan orang yang kelebihan harta menunaikan ibadah kurban, baik di sekitarnya atau lokasi tertentu yang memang layak mendapatkannya.
Ketika seorang muslim berkurban, itu menjadi barometer ia punya kepedulian terhadap saudara seiman. Dalam literatur Islam, tidak secara gamblang menerangkan perintah kurban sebagai bukti peduli sesama. Namun, dalam banyak dalil, Allah selalu mengajak muslim untuk empati pada orang kesusahan, terutama yang butuh perhatian dan uluran tangan dermawan.
Allah dan Rasul juga menganjurkan muslim memperbanyak sedekah, dengan berbagai bentuk dan kualitas sedekah. Imam Thabrani meriwayatkan pesan Rasulullah, “Bersedekahlah, karena sedekah sebagai pelepasmu dari neraka.”
Sedekah dapat diberikan dalam bentuk apa pun walaupun nilainya kecil. Intinya bernilai dan bermanfaat. Karenanya, kurban juga sedekah yang sangat dianjurkan pada momen Iduladha.
Sepatutnya, muslim yang mencintai Allah dan Nabi Muhammad mesti mengorbankan harta yang dicintainya, sebagai konsekuensi cinta pada Allah. Tanpa pengorbanan besar, cinta pada Pencipta sulit terwujud, bahkan terkesan cinta kosong dan bohong. Dalam banyak catatan, para ulama dan sufi mengorbankan harta, raga, dan waktu demi taat kepada Allah.
Muslim yang hidup era modern dan zaman digital, memang tidak seutuhnya dapat mengamplikasi seperti amalan pendahulu, apalagi seperti yang dicontohkan Rasulullah. Namun, setidaknya tidak mengabaikan perintah berkurban selama masih ada kesempatan.
Doktrin yang wajib dikekalkan bahwa hakikat sedekah dan kurban tidak mengurangi harta. Sebaliknya, sebagai amal di akhirat dan pemancing rezeki di dunia. Sudah banyak bukti konkret bahwa sedekah memang ajaib dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah. Selain itu, banyak nikmat Allah berikan bagi yang giat bersedekah, selain nikmat material.
Lumrah diketahui bahwa kurban menjadi amalam di akhirat, dalam bahasa ceramah biasa disebut kendaraan akhirat, yang dapat ditumpangi keluarga demi memudahkan melintas akses ke jalan kemenangan, yaitu surga.
Sejatinya, kurban dapat menyenangkan kaum lemah ekonomi, agar dapat merasakan indahnya berhari raya, Iduladha. Meskipun Islam tidak membatasi orang kaya atau kelompok ekonomi menengah untuk mencicipi daging kurban, namun dominannya kurban disalurkan pada yang membutuhkan.
Ketika saudara seiman mendapat jatah daging kurban, tentu ia merasa bahagia. Walapun dirinya bukan orang yang tak mampu memenuhi isi dapur, tetapi menjadi sarana menjalin persaudaraan. Membuat orang lain bahagia dan mudah dalam segala urusan sangat dianjurkan Rasulullah, karena dapat memperkokoh iman dan ketakwaan.
Syehk al-Qutb Al-Ḥabib Ali bin Hasan bin Abdullah al-‘Aá¹á¹has Ba‘Alawi al-Husai dalam kitab Al ‘Athiyyatul Haniyyah menuliskan, siapa membahagiakan orang lain, Allah menciptakan 70.000 malaikat yang ditugaskan meminta ampunan baginya hingga kiamat, sebab ia telah membahagiakan orang lain.
Perlu dipahami bahwa sedekah dikategorikan sebagai amalan sosial (al-muta’ddiyah). Manfaat sedekah bukan semata bagi yang memberikan, namun dapat dinikmati secara luas oleh orang lain, minimal menikmati bahagia pasca mendapatkan sedekah kurban.
Rasulullah amat mengidolakan umatnya yang saling pengertian, saling memberikan hadiah dan sedekah sebagai perekat silaturahmi, serta menumbuhkan cinta persaudaraan. Merujuk literatur Islam, Rasulullah menganjurkan memberikan hadiah. Sebab hadian sumber cinta dan kasih sayang. Aisyah pernah mengabarkan;
“Rasulullah menerima hadiah dan membalasnya," (HR. Bukhari).
Melalui kurban, sosok muslim akan mengikis sifat rakus dan kikir. Kedua sifat ini, selain merusak hati, juga dapat melunturkan harmonisasi antar masyarakat. Apalagi di Aceh kental dengan tradisi dan adat, bila tidak berkecimpung dalam kegiatan sosial seperti maulid yang biasanya patungan dana, maka sangat rentan memicu sentimen serta mosi tidak percaya, bahkan dicemoohkan oleh warga lainnya.
Sekarang, berkurban sudah banyak pilihan, ada program kurban patungan, beranggotakan tujuh orang untuk satu lembu. Sistem kurban tersebut juga cukup andal dan mustajab untuk menumbuhkan harmonisasi sosial. Terutama bagi mereka yang finansialnya minim, namun tetap berupaya berkurban, walau hanya patungan, dalam bahasa Aceh disebut "tek-tekan".
Catatan kelompok kurban seperti tersebar di masjid dan meunasah, menjadi bukti antusiasme berbagi masih ada pada segilintir orang. Hal ini patut diacung jempol, mereka sudah nekat menjadi bagian dari orang kesusahan dan membutuhkan. Seorang tokoh ilmu sosial, Bender mengatakan kepedulian menjadikan diri kita terkait dengan orang lain dan apa pun yang terjadi terhadap orang tersebut.
Sisi lain, penerima kurban jangan merasa sinis, apalagi menganggap pemberian kurban padanya sebagai penghinaan, sebab ekonominya lebih unggul. Sebaliknya, harus dipandang demikian indahnya Islam, yang memerlakukan istimewa sesama muslim.
Ocehan terakhir, mari upayakan memperbanyak sedekah, khususnya kurban, demi meciptakan kekuatan persaudaraan sesama penganut Islam, baik dalam negeri maupun manca negara. Buktikan bahwa mereka tidak sendiri, ada saudara seiman yang siap mendampingi dan berkontribusi dalam kebaikan. Semoga!
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.