Ideologi TikTok Menghilangkan Malu dan Empati

Share:

Abu Teuming
PAI Non PNS Kuakec Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar dan Penyuluh Informasi Publik (FPIP) Kemkominfo RI

MASYARAKAT Indonesia, tidak terkecuali rakyat Aceh, termasuk kelompok demam media sosial (medsos) seperti aplikasi TikTok, yang populer sejak 2016 di negeri asalnya, Cina. Semua kalangan, anak-anak, milenial, dan orang dewasa tidak asing dengan TikTok.

TikTok mengusung ideologi “hilangkan rasa malumu”. Siapa pun yang ingin tampil elegan dan narsis di depan TikTok, wajib membuang rasa malu. Sebab aplikasi yang berdurasi 15 detik ini menuntut konsumennya supaya kreatif menciptakan aneka konten. Terlepas konten negatif atau positif, yang penting unik, lucu, dan menghiburkan penonton.

Dominannya, konten bergerak, pelakunya aktif, bahkan terbilang gesit plus genit, seperti tampil bergoyang senarsis mungkin dengan paduan musik ala modern. Tanpa goyangan, pengguna TikTok terasa hambar, seakan distempel kaum kurang pergaulan.

Penulis tidak ingin membahas terlalu detail identitas TikTok. Toh semua generasi, terutama generasi milenial sangat peka terhadap TikTok dan teknik operasionalnya.

Penekanan penulis hanya pada dua aspek, yaitu hilangnya rasa malu dan empati.

Krisis malu

Beragam model gerakan, goyangan, dan atraksi tampil di TikTok saat warganet berselancar di media sosial. Semua tingkah tersebut, bila diperhatikan saksama, ada kejanggalan, yaitu tampilnya perempuan yang krisis rasa malu, atau punya malu, tetapi malunya memudar saat beradaptasi dengan TikTok.

Meskipun TikTok masih ramai digunakan perempuan berhijab. Namun ada yang tidak mengindahkan sifat malunya, seperti perempuan hamil yang menggosok perut dengan tangannya sambil goyang ringan, atau kecupan suami yang mendarat di pipi dan perut hamilnya. Memang, itu aktifitas wajar yang dilakukan suami dan istri. Tetapi perlu diingat, aksi ini wajar ketika berada di tempat yang wajar, alias sepi. Bukan di depan publik, apalagi medsos yang ruang publikasinya seantero dunia. Melihat realita tersebut, sejujurnya ada adegan yang dapat mengurangi rasa malu. Dalam dunia publik seperti di medsos, ini bukan hal wajar, sebab dapat diakses dan ditonton berbagai kalangan, kapan pun. 

Islam menghendaki wanita bersikap malu, sebagaimana Allah telah melekatkan sifat malu pada sosok perempuan. Bahkan, indahnya perempuan karena sifat malunya dan malu adalah pakaian perempuan.

Bayangkan, ketika ada perempuan di tempat umum, misalnya di warung kopi, berbicara dan tertawa dengan nada tinggi saat berkomunikasi dengan rekannya. Tentu melunturkan rasa indah pada dirinya, meskipun terlihat cantik fisiknya. Sebaliknya, yang menarik dan indah mereka yang tampil sejuk, ayu, dan santun di mana pun berada. Maka jangan pernah buang rasa malumu, karena itu perhiasan. Jujur, tidak ternilai harganya, bahkan malu itu sumber kebaikan.

Rasulullah berpesan dalam riwayat Mutafa’ Alaih, “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.”

Dalam catatan lain, malu merupakan bagian dari iman. Ketika tidak malu, maka kesempurnaan imannya terkikis.

Penulis yakin, pembaca pernah melihat dan mendengar musik dan lagu yang populer di TikTok. Misal lagu apik “Sepi Sekuntum Mawar Merah” yang didendangkan artis Malaysia, Ella, dengan lirik poluler “Berlayar di lautan tidak bertepian, sesekali disedarkan ombak yang mendatang, aku seperti hilang punca arah dan tujuan.”

Lalu para artis TikTok melangkah serentak maju dan mundur, sambil loncat dan mengangkat kaki. Mengapa mereka terlalu berambisi melakukan itu? Selain tren, juga rasa malu sudah meredup, yang digantikan dengan rasa percaya diri berlebihan melebihi kodrat wanita. Perlu dipahami, itu adalah misi TikTok yang tidak disadari konsumen, khususnya generasi Islam.

Parahnya, mayoritas yang hilang malu adalah wanita, yang sebenarnya terjaga dan terhormat. 

Dalam diskusi yang diisi pakar teknologi dan aplikasi, Ustaz Tri Wahyudi, menyebutkan setiap desain harus menarik yang lihat. Desain menarik, seperti flayer, biasanya ada bagian yang tidak dibuat lurus, justru dilekukkan dan miring. Orang akan lebih minat desain tersebut.

Hal ini persis dengan fisik wanita, yang memiliki daya tarik dari lekuk tubuh dan bagian tertentu, yang tidak lurus. Bukan pelecehan, tetapi model tubuh wanita yang berlekuk dan miring memang dapat menarik perhatian kaum Adam. Karenanya, miris jika ada wanita tampil gesit di TikTok, meskipun berhijab, apalagi yang non hijab.

Islam datang membuat para perempuan berharga dan terlindungi. Tidak heran dalam lagu Aceh karya Husni Al Muna, dengan judul “Jaga Tuboh” disebutkan;

“Koen salah kumbang, tetapi droe tan dijaga. Puncak jroeh nanggroe, wahe adoe shiet bak gata hai boeh hate. Lheuh nabi lahee, Rasul ka lheuh neuangkat derajat gata. Sayang tajaga droe, jaga tuboh intan.”

Penulis tidak menarasikan utuh liriknya, warga Aceh pasti dapat memetik makna dalam lagu tersebut.

Hilangkan empati

Selain bermisi menghilangkan rasa malu, TikTok juga ingin menghilangkan rasa peduli terhadap orang tertimpa musibah.

Via Tiktok, banyak beredar video orang kecelakaan atau musibah ringan, lalu diselipkan audio berupa narasi lagu dengan judul “Dengarkanlah di Sepanjang Malam Aku Berdoa-Cinta Sampai Mati,” dinyanyikan artis Raffa Affar. Namun dalam TikTok dinyanyaikan oleh orang lain dengan lirik dan nada meleceng. Penulis yakin, pembaca pernah mendengarnya di TikTok sambil melihat isi konten, seperti lirik “dengarkanlah, dengarkanlah!”

Lalu, sang penyanyi tertawa ria, sedangkan orang dalam konten sedang mengalami musibah dengan berbagai latar belakang. Ada yang terjatuh saat berjalan, motor yang dikendarai masuk ke parit, atau adegan lainnya baik yang alami atau setting. Intinya, saat orang musibah, ditertawakan.

Walaupun setting, demi konten lucu dan menghibur, tetapi satu sisi nilai kepedulian sesama manusia mulai hilang. Rasa empati tidak lagi ada dalam jiwa umat Islam. Sebagai bukti, saat pembaca melihat konten itu di TikTok, spontan tersenyum, karena lucu. Parahnya, ketika konsumen TikTok adalah anak-anak, yang semestinya dididik dengan nilai Islam dan peduli pada kesusahan orang lain, justru menyaksikan konten tidak bermoral ini. 

Secara tidak langsung, penonton diajak untuk membiarkan orang musibah, tidak perlu dibantu, bahkan cukup ditertawakan, karena adegan musibah terkesan lucu. Coba perhatikan di sekitar, saat kecelakaan, orang lebih memilih membuat konten video, ketimbang menolongnya, meskipun nantinya juga ditolong. 

Padahal Islam mengajarkan supaya saling menolong, suka berbagi, empati pada sesama, khususnya saudara seiman ketika mendapatkan musibah. Bila muslim menderita, sepatutnya sama-sama merasakan pedihnya.

Rasulullah bersabda, “Para penyayang akan disayangi oleh ar-Rahman. Sayangilah penduduk bumi, maka kalian akan disayangi oleh siapa saja yang ada di langit,” (HR Abu Daud).

Sebaliknya, Islam mengajak manusia menghindari sikap acuh, cuek, dan bully orang lain. Jika itu dilakukan, maka secara perlahan-lahan identitas generasi Islam mulai terkikis, pada akhirnya sangat mudah merusak mereka sesuai keinginan musuh. 

Alat intelijen

Pembahasan TikTok akan tuntas bila sering ikut analisa tajam Bossman Mardigu, dengan narasinya yang menggugah dan mencerdaskan. 

Memang, segelintir orang mampu menganalisa kemunculan TikTok, yang dianggap sebagai intelijen Tiongkok. Sebenarnya, semua platform media sosial dapat menyedot identitas pengguna. Tetapi ingat, bukan tanggal lahir Anda dan alamat rumah. Sekarang tidak zamannya lagi mencuri data pribadi orang lain, misal nomor KTP. Toh sejak muncul internet mereka sudah mampu melakukan itu.

Meminjam istilah Bossman Mardigu, itu zaman kuno. Mereka tidak butuh lagi privasi itu. Yang mereka butuh adalah keinginan masyarakat Indonesia, budaya, kebiasaan, kesenangan, gaya hidup, bahkan hal lebih urgen lainnya demi peningkatan ekonomi bangsanya.

Perlu dipahami, via platform medsos, seperti TikTok, Cina bisa mengatur warga Indonesia. Cukup menerbitkan satu musik dan gerakan goyang di TikTok, hampir semua orang menirunya, baik gerakan dan musik. Bahkan ada yang melatih diri berhari-hari, demi menyesuaikan dengan adegan di TikTok.

Pada titik ini, coba renungkan, Anda ditarik mengikuti TikTok, bukan TikTok harus ikut kebiasaan Anda. Ini pertanda, TikToker sangat mudah diatur oleh teknologi, yang pada intinya keinginan dan kesenangannya diketahui oleh pencipta TikTok. 

Artinya, fungsi alat intelijen tercapai, karakter dan kebiasaan Anda sudah terbaca. Mereka hanya butuh beberapa saat menciptakan hal baru, ketika diluncurkan akan sangat cepat disambut oleh target. Sadisnya, produk tersebut membuat konsumen lupa dengan kebiasaan baik, bahkan lupa harus menjaga malu, menutup aurat, lupa harus empati sesama dan lupa pada kewajiban.

Nah, fungsi TikTok sebagai alat intelijen Cina sudah berjalan maksimal. Selanjutnya, mereka bisa mempengaruhi konsumen dalam hal ekonomi, tentu ekonomi kapitalis yang menguntungkan mereka, sebaliknya merugikan umat Islam.

Benar ketika ada ungkapan sangat mudah menghancurkan negara ketika generasi mudanya sudah rusak. Rusaknya pemuda tidak berdampak dalam satu atau dua tahun. Lebih dari itu, puluhan tahun, saat mereka berada pada posisi mengambil kebijakan dan bertindak, yang semua itu dilakukan tanpa pertimbangan agama dan nilai kearifan lokal.

Kebanyakan user TikTok, tidak lagi merawat jati diri, tidak lagi bersikap "inilah aku", apa adanya. Mereka sudah menuruti keinginan TikTok, terlebih yang sedang ngetren. Secara latah, sikap mereka melewati batas, demi popularitas dan menggait pujian lewat tontonan. Minim jempolan di akun media sosial menjadi tantangan bagi artis TikTok. Mereka terpaksa harus lebih agresif dan aktif menciptakan konten baru, untuk mengumpulkan ribuan jempol dan banjir pujian netizen.

Catatan akhir, perlu diakui, masih ada orang baik hati yang memanfaatkan TikTok untuk media dakwah dan ladang bisnis. Semoga!


No comments

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.