Penyuluh Agama Menyelami Lautan Moderasi Beragama

Share:

Amiruddin (Abu Teuming) 

Penyuluh Agama Islam pada Kuakec. Krueng Barona Jaya, Kemenag Aceh Besar, Penyuluh Informasi Publik (PIP) Kemkominfo RI, pegiat Forum Aceh Menulis (FAMe), dan Pengurus Inspirasi Keluarga Anti Narkoba (IKAN).

PADA Senin pagi, 25 Oktober 2021, puluhan pria berpeci, berpadukan pakaian motif batik dan koko, mereka duduk dalam ruangan sederhana. Tampak rona wajah seperti sedang menanti suatu hal. Di sisi lain, masih dalam ruangan yang sama, duduk para wanita, cantik, muslimah dengan pakaian serba syar'i, sambil berdiskusi ringan dan melepas rindu, sehingga suasana ruangan terasa ada penghuni.

Mereka merupakan penyuluh agama, yang kerap digelar juru damai, garda terdepan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), sebab giat pendakwah itu bersentuhan langsung dengan aktiftas masyarakat. Meminjam istilah Ustaz Khalid Wardana, penyuluh adalah corong. Bisa dibayangkan jika corong tak berfungsi maksimal, tentu dapat menimbulkan masalah baru. 

Pada bagian depan ruangan, terpajang indah spanduk bertuliskan Pembinaan Penyuluh; Pengarusutamaan Moderasi Beragama dan Wawasan Kebangsaan Kementerian Agama Kabupaten Aceh Besar.

Melihat tema di atas, memang terasa sangat seram, apalagi istilah moderasi beragama masih terjadi perdebatan hangat, hampir pada semua kalangan. Ternyata, makna dan aplikasi moderasi beragama tidak sepahit yang dirasakan umat Islam selama ini, yang terkesan ingin merombak agama dengan paduan pemikiran modern, sehingga menghasilkan sebuah konsep ajaran atau amalan baru.

Penulis yakin, moderasi beragama tak seseram itu. Tapi, jika ada yang merasa seram, perlu diakui, istilah tersebut harus tetap dikaji, jangan dihindari, karena umat Islam sangat dianjurkan untuk terus belajar. Bahkan ada penggalan kalimat populer, tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat.

Penulis ingin menguraikan pendalaman makna moderasi beragama, yang berpacu pada materi yang disampaikan oleh narasumber pelatihan ini, atau setidaknya memaparkan penjelasan satu pemateri saja. Diawali dari Kepala Kantor Kementerian Agama (Kakankemang) Kabupaten Aceh Besar, Tgk. Abrar Zym, yang kebetulan membuka kegiatan ini sekaligus memberikan materi.

Saat berdiri di hadapan penyuluh agama, Abrar Zym secara sederhana menjabarkan makna moderasi beragama. Memang, dalam dunia akademik, istilah moderasi beragama masih diperdebatkan. Belum ada defenisi konkrit, sehingga kerap muncul gesekan di kalangan aktivis, intelektual, dan akademisi. Paling tidak, makna yang diuraikan di sini bisa mewakili dan mendekati kesesuain.

Kakankemanag menjelaskan defenisi sederhana moderasi beragama, yaitu di tengah-tengah, adil, dan berimbang.

Abrar Zym, mencoba membuka pikiran peserta, dengan pernyataan, dalam satu negara ada enam agama, dalam agama ada empat mazhab, dalam mazhab ada beragam pendapat dan dalam pendapat terdapat beragam keikhlasan serta ibadatnya. Karena kondisi negara yang majmuk, masing-masing agama silakan taat menurut agamanya, tapi harus menghormati agama lain dan tak mengganggu eksistensi mereka.

Ia mencoba memberikan perumpamaan, agar peserta paham arti moderasi beragama. Misalnya seorang moderator yang moderat. Moderator tidak berpihak pada pemateri dan tidak berpihak pada peserta, tapi berada di posisi tengah. Perlu diketahui, fungsi moderator mengantar acara sampai selesai. Ketika ada moderator yang jadi pemateri, artinya menggunakan waktu melebihi fungsi maderator atau menjelaskan tema yang hampir setara dengan penjelasan pemateri, maka ini disebut tak moderat lagi, karena tak seimbang.

Saat Abrar Zym menyebutkan itu, penulis teringat sosok Saifuddin Bantasyam, figur publik speking yang punya pengalaman dan menguasai ilmu publik speaking, termasuk fungsi dan sikap seorang moderator. Ia sering tampil di Forum Aceh Menulis (FAMe), mendidik anggota FAMe agar cakap berdiri di atas mimbar. Benar, yang disampaikan Abrar Zym sesuai dengan penjelasan Saifuddin Bantasyam.

Keadaan rungan senyap, semua tampak mendengar orasi Abrar Zym, yang punya ciri khas, bernada lembut dan santai. Pernah Nabi Muhammad ikut peperangan, lalu rasul meminta sahabat mendirikan pos di suatu lokasi, sebagai strategi perang agar menang. Ternyata, Ali menyaran pada nabi, supaya pos penjagaan dibuat di lokasi lain. Lalu rasul menyetujui pendapat Ali. Ini menjadi landasan untuk menghargai perbedaan pendapat.

Abrar Zym mengingatkan, setiap muslim tidak boleh menghina kelompok agama yang beda dengan dirinya, termasuk beda aliran seperti berkembang di kalangan muslim. Juga tidak boleh menganggap jelek atau meremahkan amalan orang lain.

Ia memberikan contoh, ketika azan dikumandangkan, biasanya orang segera ke masjid untuk salat. Jika ada orang lain yang masih duduk di luar masjid, tidak salat berjamaah. Maka dalam kondisi ini, jangan langsung menjustifikasi mereka. Bisa jadi dia musafir, terkadang sudah menunaikan salat secara jamak.

Tampaknya, Abrar Zym perlu meyakinkan peserta pelatihan, terkait amalan orang lain, yang tidak layak dikucilkan dan dianggap remeh. 

Ia menceritakan, dalam peradaban Islam ada banyak kisah yang dapat dijadikan acuan agar menghargai perbedaaan dan amalan orang lain.

Imam Syafii pernah bertamu ke rumah muridnya, Imam Hambali. Sang murid, amat gembira, sebab dikunjungi guru mulia. Di rumah, Imam Syafii dijamu makan malam, dan tidur di kamar khusus.

Ternyata, putri Imam Hambali memperhatikan gerak dan gerik Imam Syafii. Tak ubahnya kinerja intelijen, sang putri melaporkan hasil investigasinya pada Imam Hambali. 

Wahai ayah, diakah yang engkau ceritakan seorang ulama besar? Imam Hambali membenarkan pertanyaan putrinya. Kepada ayah, sang putri bercerita, terkait hal aneh dan tak wajar dilakukan oleh Imam Syafii. Putri itu menyebutkan, pertama saat kami hidangkan makan malam, ia makan cukup lahap dan banyak. Ketika Imam Syafii masuk kamar, ia tidak bangun lagi untuk salat malam. Anehnya, saat Subuh tiba, ia tidak wuduk, tapi langsung salat.

Artikel ini sudah tayang di Harian Serambi Indonesia, Sabtu 30 Oktober 2021

Masih dalam pemaparan Abrar Zym, yang terus didengar oleh penyuluh. Imam Hambali pun menyampaikan fenomena yang dilihat putrinya kepada Imam Syafii. Di hadapan Imam Hambali dan putrinya, Imam Syafii memberikan klarifikasi, bahwa ia makan banyak karena tahu makanan di rumah ulama itu halal,  dan Imam Hambali merupakan orang dermawan. Sedangkan makanan orang yang dermawan bisa jadi obat dan makanan orang pelit bisa jadi penyakit. Karenanya, Imam Syafii makan bukan untuk mengenyangkan perut dan menuruti hawa nafsu, tapi untuk berobat dengan perantara makananmu itu. Sebab saat ia tiba di rumah Imam Hambali kondisinya sedang sakit.

Abrar Zym terlihat masih semangat menceritakan kisah kedua ulama mazhab tersebut. Orang nomor satu di Kemenag Aceh Besar itu menyebutkan dengan mengutip lanjutan kisah di atas.

Imam Syafii tidak bangun malam, sebab saat meletakkan kepala di tempat tidur, terlihat jelas di hadapannya lembaran-lembaran Al-Quran, hadis, dan kitab, maka ia membaca dan menyelesaikan masalah agama, yaitu 72 masalah dalam ilmu fikih, dengan niat bermanfaat bagi muslim nantinya.

“Itu sebab Imam Syafii tidak sempat salat malam,” tegas Abrar Zym mengutip sejarah Islam.

Sedangkan alasan Imam Syafii tak berwuduk untuk salat, karena kedua matanya tidak terpejam dan tak tidur. Maka ia pun salat Subuh dengan wuduk ketika salat Isya. 

Nah, ini secuil kisah, bahwa tidak sepatutnya menganggap remeh amalan orang lain, dan sangat patut menghargai perbedaan pendapat, dengan tetap menerapkan konsep moderasi beragama, tapi tidak keblablasan.

No comments

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.