Oleh Amiruddin
Berawal dari aksi pengurus Forum Aceh
Menulis (FAMe) pada akhir 2020, yang mengumpulkan donasi lewat media sosial,
dan menyalurkan bantuan sembako bagi masyarakat terdampak corona virus disease-2019 (Covid-19) di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar. Saat itu, pengurus FAMe memberikan keluasan bagi donatur dan siapa pun
untuk mengusul nama-nama orang yang berhak menerima bantuan. Sekaligus meminta
si pengusul untuk mengantarkan bantuan ke rumah target.
Kebetulan, saya (penulis) ditugaskan untuk
mendata jumlah penerima manfaat dan orang yang mengusul. Ketika memeriksa
daftar nama pengusul, terdapat nama Khairul Fahmi. Sejujurnya, penulis tidak
mengenal pemilik nama tersebut. Untuk memastikan sosok pria ini, penulis
bertanya pada teman. Tindakan ini penulis lakukan sebab Khairul Fahmi termasuk
banyak mengusul nama penerima bantuan sembako. Padahal, ia bukan orang yang
aktif di FAMe.
Informasi terkait Khairul Fahmi saya
dapati dari teman, bahwa pria paruh baya itu adalah polisi yang bertugas di
Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polisi Resor Kota (Polresta) Banda Aceh.
Mendengar kabar ini, terbesit di benak penulis, kenapa polisi ini tahu ada
bantuan. Saya pun melakukan penelitian ringan via media sosial. Ternyata, Aipda
Khairul Fahmi sosok polisi dermawan, pegiat sosial, bergelar ayahnya anak yatim
dan keluarganya kaum duafa.
Akhirnya, penulis menelusuri rekam jejak
yang ia lalukan selama ini. Ternyata, pria asal Kabupaten Pidie itu bukan polisi biasa,
yang kerap dianggap tidak menyenangkan oleh masyarakat. Sebaliknya, ia adalah
polisi idaman, disenangi berbagai kalangan, terutama kaum ekonomi lemah dan
orang sakit. Sebab Khairul Fahmi tidak bisa mendengar ada orang menderita atau
sakit, hatinya langsung iba dan berhasrat membantu mereka. Walaupun kemampuan
ekonominya terbatas, ia tetap menjenguk orang yang memang butuh perhatian,
untuk melihat kondisinya.
Jika ada orang yang membutuhkan bantuan,
Aipda Khairul Fahmi langsung beraksi, melakukan penggalangan dana. Ia
memanfaatkan media sosial untuk mengumpulkan sumbangan masyarakat Aceh. Lewat
dunia maya seperti facebook, banyak sekali orang baik hati, yang ingin membantu
kaum lemah melalui gerakan yang dilakukan sang polisi.
Penulis terpikir, tidak pantas
menyepelekan orang lain, apalagi hanya melihat penampilan luar atau seragam.
Jika pun ada polisi yang dianggap tidak menyenangkan, itu hanya oknum yang
tidak menjalankan visi dan misi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
secara totalitas.
Pasca mengenal Aipda Khirul Fahmi, saya
mulai ikut bersamanya, kadang minum kopi bersama dan berdiskusi di
sela-sela kelelahannya mengatur lalu lintas di Kota Banda Aceh. Bahkan, saya
pernah ikut bersamanya, saat menyalurkan bantuan pada Hasnawi (41 tahun) di
Desa Lamteh, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar.
Hasnawi mengalami kecelakaan kerja,
tersengat arus listrik bertegangan tinggi ketika berkerja sebagai buruh
bangunan di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Kedua tangannya hangus terbakar,
daging di tangan membusuk, hanya tersisa tulang yang tidak berfungsi.
Hasnawi tidak menduga, harus kehilangan
bagian vital di tubuhnya, sehingga ia harus rela kehilangan kedua tangan.
Kepada Hasnawi, Khairul Fahmi memberikan perhatian khusus, terutama sisi
finansial. Ia bukan hanya memberikan bantuan, tetapi mengawasi pengobatan
Hasnawi hingga sembuh total.
Hasnawi termasuk penerima manfaat yang
paling lama dalam pengawasan Khairul Fahmi. Polisi cinta warga ini menyalurkan
Rp 27 juta untuk pengobatan dan kebutuhan hidup Hasnawi, selama hampir empat
bulan. Hasnawi sempat frustasi dan ingin bunuh diri, karena merasa tidak punya
lagi masa depan. Namun Khairul Fahmi tidak menyerah, polisi humanis ini
berusaha agar samangat hidup Hasnawi kembali mekar, walau tanpa dua tangan.
Berbagai bujukan dan rayuan dilakukan Khairul Fahmi agar Hasnawi bersedia
memotong bagian tangan yang tidak berfungsi lagi. Sebab, saran dokter harus
dipotong bagian tangannya, agar sembuh dan tidak nyeri. Khairul Fahmi
meyakinkan Hasnawi, korban sengatan listrik ini tidak akan merasa sakit lagi ketika
tulang tangannya dipotong, sehingga bisa beraktifitas, minimal tidak perlu
bantuan orang lain saat makan dan ke kamar mandi.
Khairul Fahmi tidak kehabisan akal, ia
berusaha mengahadirkan Cek Pon, pria disabilitas yang tidak memiliki kedua
tangan, namun bisa beraktifitas dengan kedua kakinya sebagai pengganti tangan.
Cek Pon bisa bertahan hidup, makan, minum, dan mengenakan pakaian, semua
dilakukan dengan kaki. Kedatangan Cek Pon membuat Hasnawi percaya diri, ia
yakin bisa hidup seperti Cek Pon. Akhirnya, usaha Khairul Fahmi membuahkan
hasil. Hasnawi rela bagian tangannya dipotong, yang secara perlahan-lahan
kesehatannya terus membaik. Kini Hasnawi sudah hidup mandiri, walau tanpa
tangan, namun rasa sakit tidak ada lagi. Kakinya mulai terbiasa memegang benda-benda
yang ia butuhkan, sebagai pengganti tangan.
Keberhasilan itu membuat Khairul Fahmi
senang, ada kepuasan tersendiri yang ia dapatkan, tetapi sulit diceritakan pada
orang lain. Karena membantu orang kesusahan adalah kenikmatan.
Penulis pernah menyaksikan rasa haru
keluarga Hasnawi, yang setiap minggu didatangi oleh Khairul Fahmi ke rumah
untuk mengetahui perkembangannya, terkadang membawa bantuan ala kadar, yang ia
peroleh dari teman kerja dan hasil penggalangan donasi di media sosial.
Ternyata, aksi sosial yang dilakukan Aipda
Khairul Fahmi bukan hanya membantu Hasnawi, bahkan telah lama ia bergelut
mendampingi kaum duafa, lewat Yayasan Aceh Karya Bangsa (YAKB), yang bergerak
di bidang sosial. Tercatat, sudah banyak kaum duafa yang ia bantu, meskipun
bantuan dari donatur, tetapi ia penggerak utama. Penulis pernah menyaksikan,
bagaimana kepeduliannya pada kaum lemah, bahkan ia berusaha mencari
dokter-dokter dermawan, yang mau mendampinginya ke rumah warga miskin, tanpa
dibayar. Mirdha lah sosok dokter yang selalu berkomunikasi dengan Kahirul
Fahmi, untuk mengontrol kesehatan Hasnawi.
Penghargaan
Aksi humanis Aipda Khairul Fahmi mendapat jempol
masyarakat, bahkan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) asal
Aceh, Sudirman memberikan penghargaan baginya pada 2019, karena kiprah
sosialnya tidak diragukan lagi. Sudirman berharap semakin banyak muncul polisi
berjiwa sosial seperti Aipda Khairul Fahmi.
Masyarakat Aceh mengagumi sosok polisi
Satlantas Polresta Banda Aceh ini. Ia amat dekat dengan masyarakat.
Kehadirannya selalu dinantikan, dan bantuannya selalu dirindukan. Sosok Khairul
Fahmi menjadi bukti bahwa polisi itu menyenangkan, dibutuhkan, dan siap
membantu warga kesulitan.
Khairul Fahmi telah dikenal luas sebagai
polisi amanah mengelola sumbangan umat, yang bekerja ikhlas untuk kaum duafa.
Mungkin ini cara dia, agar masyarakat Aceh kembali cinta pada seragam itu,
alias polisi. Baginya, ini teknik membuat warga lebih dekat dan cinta, bahkan
bermitra dengan polisi.
Sungguh, Khairul Fahmi adalah sosok polisi
yang mampu mengajak orang untuk kebaikan, bukan sekedar memberikan nasihat. Ini
lah harapan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Drs. Listyo Sigit
Praboqo, M.Si. Polisi harus menjadi garda terdepan dalam kebaikan dan keamanan
masyarakat.
Gerakan seperti ini menjadi kesenangan dan
kebahagian bagi Khairul Fahmi, selain bisa membantu masyarakat lewat pengaturan
lalu lintas. Baginya, apa yang ia lakukan selama ini merupakan nilai luhur,
yang diajarkan oleh orang tuanya sejak kecil. Juga tidak terlepas dari
arahan dan petunjuk pimpinannya di jajaran Polri, supaya menjadi polisi yang
humanis, promoter menuju Indonesia maju. Ia kerap berpesan pada masyarakat Aceh
agar terus berbuat semampunya, meski kecil, namun berguna bagi orang banyak.
Kolega kerjanya, dari kepolisian juga terharu dengan aksi sosial Khairul Fahmi. Banyak polisi menyumbang seadanya saat ia menggalang dana. Atasan di tempatnya bekerja tidak mempermasalahkan kiprah Khairul Fahmi di bidang sosial, asal ia mampu mengatur waktu untuk tugas abdi pada negara dan membantu orang miskin.
Link Google Drive: https://drive.google.com/file/d/1fgEW9hO4cRwz0noPzExg_vcRyjf--ULA/view?usp=sharing
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.