Oleh Abu Teuming
Pasca larangan mudik, muncul berbagai respon publik dan fenomena menarik. Di antaranya, meski pemerintah melarang mudik, banyak masyarakat melewati akses yang dijaga ketat, demi sampai ke kampung halaman, entah ke rumah orang tua, anak, dan istri.
Jika tak berlebihan, banyak warga yang nakal, sebab tetap memilih mudik. Fenomena nakal ini bukan muncul tiba-tiba, tanpa alasan. Sebaliknya, ada prinsip kuat atau keyakinan mendalam dalam diri mereka, bahwa mudik adalah kebaikan.
Kebaikan itu, dalam Islam bernilai positif, sebab mudik demi menatap wajah orang tua dan mencium keningnya sambil memohon ampun, sebelum ayah dan ibu kadang tutup usia. Itu lah tradisi setiap lebaran. Atau kebaikan karena rindu istri dan anaknya, yang lama menanti dalam doa dan harapan.
Ketika sebuah keyakinan kuat, maka sulit untuk dipengaruhi, meski dilarang mudik, namun mereka tidak peduli, terlebih yang dilarang bukan hukum Islam.
Contoh, semua muslim yakin jihad di jalan Allah bakal menuai mati syahid. Maka para mujahid tidak peduli senjata Yahudi lebih canggih dan berkaliber tinggi. Lihat saja, bagaimana keberanian rakyat Palestina menantang tentara Yahudi, walaupun dengan tangan kosong. Semua ini berawal dari keyakinan, bahwa Masjid Al-Aqsa tempat suci umat Islam, yang harus dipertahankan.
Siapa tahu, dengan kepedulian anak rantau terhadap orang tua, niat ikhlas berbakti pada orang tua, dan menjalin silaturahmi, Allah akan membebaskan negeri ini dari gentayangan penyakit. Terlebih ada doa orang tua untuk keselamatan anaknya, demi menjenguknya di kampung, justru Covid-19 Allah dipindahkan dari bumi Indonesia
Pemimpin dan pakar kesehatan hanya mampu menduga penyebaran virus ini, seperti mereka mampu menebak ilmu matematika. Tapi ulama bisa melihat lebih dari itu, mampu memahami hakikat, hal yang dalam matematika tidak mungkin terjadi. Karena mereka percaya pada Allah, yang kuasa atas segalanya.
Percayalah, tidak ada kebaikan manusia yang dibalas buruk oleh Allah. Silaturahmi dengan keluarga adalah kebaikan tak ternilai harganya. Tidak mungkin Allah mengirim bala penyakit sebagai balas perbuatan baik.
Pemerintah jangan sepelekan masalah penyekatan akses mudik di Aceh, sebab bisa saja terjadi hal di luar dugaan dalam beberapa hari ke depan. Termasuk sopir angkutan umum. Karena ini menyangkut keyakinan, kerinduan, dan kebutuhan.
Padahal, ketika masyarakat telah patuh pada protokol kesehatan (prokes), menggunakan masker dan menjaga jarak, itu sudah cukup untuk waspada pada Covid-19, tidak mesti ada kebijakan larangan mudik.
Tapi penulis yakin, sebelum Idul Fitri 1442 H, kebijakan super kontra ini bakal dicabut, dengan berbagai pertimbangan. Namun, selama beberapa hari kerja di lapangan, petugas sudah ada dokumentasi, tentu honor turun lapangan segera cair. Konon honor untuk urusan corona lumayan membuat bapak-bapak pekerja ini tersenyum.
Pemerintah harus ingat, jangan sampai kebijakan larangan mudik membuat jutaan rakyat terzalimi. Sebab Allah sudah berjanji, doa orang terzalimi akan diterima Allah, terlebih bulan Ramadhan, siapa pun berdoa akan Allah perkenankan.
Ok Mantap
ReplyDelete