Demi THR, jangan Ajari Anak Mental Pengemis

Share:

Oleh Abu Teuming; Penyuluh Agama Islam Aceh Besar dan Direktur K-Samara

USAI berpuasa sebulan penuh, semua muslim akan menyambut Idul Fitri, sebagai hari kemenangan.

Kali ini, Idul Fitri 1443 H jatuh pada Senin, 2 Mei 2022. Setiap hari raya, masyarakat Aceh, umumnya warga Indonesia akan mempersiapkan uang receh, untuk tunjangan hari raya (THR), bagi keponakan, cucu, adik, dan sebagainya.

Lebaran selalu identik dengan THR, baik di dunia pemerintahn dan swasta, bahkan bagi anak-anak. Apalagi mereka yang hidup di tanah rantau, tentu kepulangannya sangat dirindukan dan THR amat diharapkan.

Tradisi THR atau salam tempel sudah lama berkembang dalam kehidupan rakyat yang saat ini dipimpin Jokowi, khususnya masyarakat Aceh. Ini, sebagai wujud kepedulian cecek (tante), wawak, paman, om dan kerabat lainnya terhadap keponakan, cucu, atau sejenisnya.

Terutama mereka yang punya harta lebih, ingin berbagi dengan sanak saudara. Walau kadang terlihat kecil, tapi memiliki makna. Sebab saling berbagi itu indah, Islam pun menganjurkannya.

Tetapi, segelintir orang tua masa kini sudah terkesan lain dalam hal ihwal THR. Mengapa tidak? Mereka malah menyuruh anaknya untuk meminta THR pada paman, om, yah wa dan kerabat yang bertalian darah.

Apalagi kerabat yang punya kelebihan harta, karena pekerjaan dan penghasilan lumayan besar. Kepada mereka, orang tua kerap meminta anak untuk ulurkan tangan, demi THR.

Kerap sekali ditemukan, orang tua berkata pada anak, "itu, om pulang salam tempel dulu." Kadang orang tua si anak berkata pada om, "gimana om ini, masak jauh-jauh pulang merantau, tapi tidak kasih THR buat si kecil."

Bahasa-bahasa yang memancing untuk diberikan THR sering terdengar. Bahkan di hadapan anak, yang masih usia perkembangan dan mengenal lingkungan.

Sejujurnya, memberikan THR itu baik, sebab selaras dengan norma Islam dan tatanan sosial. Namun, sisi lain, ada keburukan yang diajarkan orang tua pada anak, yaitu menciptakan mental pengemis berupa pajak THR. Walaupun uang lebaran itu diminta pada adik ayah atau abang mamaknya.

Orang tua harus sadar, anak itu memiliki ingatan yang bagus, dan suka meniru orang tua. Hal ini telah diakui oleh ahli anak dan psikologi. Bahkan semua anak-anak belajar dari apa yang diperintah orang tuanya, yang didengar, dan dilihatnya.

Masa anak-anak identik dengan perkembangan fisik dan psikologi. Apa pun pengalaman yang diperoleh sejak usia dini akan menjadi modal dan kebiasaan kelak saat dewasa. Artinya, interaksi orang tua dengan anak atau lingkungan si anak sangat mempengaruhi karakternya.

Bila orang tua terus mengajari dan membiasakan anak untuk menanti atau meminta THR pada orang lain, hal ini tanpa disadari, telah membentuk mental pengemis pada diri si anak, membuat si anak terbiasa dengan mengulurkan tangan pada orang lain, sekalipun orang tidak dikenalnya.

Jika sudah tradisi tahunan, selama Lebaran, anak tidak akan berpikir lebih, melainkan siapa pun yang datang ke rumah, atau ke rumah yang ia datangi, yang terbayang hanyalah akan mendapatkan THR. Bisa saja mereka berpikir THR itu adalah Lebaran, Lebaran itu adalah THR. 

Realita, anak masa kini kerap koleksi uang dengan warna dan nilai berbeda. Mereka merasa ada keunggulan bisa mengumoulkan banyak lembaran rupiah. Tidak jarang, para bocah lebih memilih banyak lembaran uang walau nilia kecil, ketimbang memiliki uang Rp 100.000 tapi hanya selembar. Kondisi ini menandakan ada keinginan koleksi dan harapan si anak untuk mendapatkan tambahan uang kertas dari orang lain, khususnya kerabat.

Seyogyanya, kebiasaan meminta THR dihentikan. Jangan mendidik anak bermental pengemis. Biarkan THR mengalir sendiri tanpa diajari. THR adalah urusan pemberi, bukan urusan penerima. THR itu adalah sedekah. Jika om dan ceceknya punya niat bersedekah dan berbagi untuk ponakan atau cucu pada momen Hari Raya, biarkan saja mereka bersedekah seikhlasnya, tanpa harus menghitung nominal kecil dan besar, juga tanpa harus memancing agar segara cair anggaran bagi bocah-bocah di sekelilingnya.

Perlu diketahui, Islam tidak mengajarkan untuk meminta-meminta. Sebaliknya, yang diajarkan adalah memberi, bersedekah sebanyaknya. Rasulullah mengharapkan generasi Islam adalah kaum yang kuat. Kuat agama, kuat ekonomi, sehingga menjadi donatur setia, bukan peminta-minta sejati, yang notabine dipandang hina dan rendah.

Memang, dalam tradisi rakyat Aceh, keluarga selalu menyiapkan buah tangan (THR) bagi anak-anak. Ini, atas kesadaran, pentingnya bersedekah, membuat anak bahagia. Terlebih ketika sang ibu membawa bayi saat bertamu, sangat aib bagi orang Aceh tanpa memberi hadiah. Sebab, mereka yakin, sosok bayi masih suci, bersih dari dosa, malaikat selalu menjaga mereka. Maka memberi hadiah bagi si bayi akan disaksikan malaikat dan mendapatkan keberkahan. 

Tradisi memberikan THR dalam kehidupan masyarakat Aceh merupakan wujud pengamalan syariah, yang sudah berlangsung turun temuran. Maka kebiasan memberi THR itu bagus, sebab bernilai sedekah. Namun, membiasakan menanti THR tidak baik, sebab meminta-minta sepatutnya dihindari, walau tidak haram.


Sekali lagi, jangan membiasakan anak untuk meminta THR, biarkan THR datang sendiri dari arah tidak disangka-sangka oleh anak, atas dasar keikhlasan dan kepedulian pemberi. Terkahir, orang tua harus menjadi pendidik handal, jangan menjadi guru perusak mental dan karakter anak.

2 comments:

  1. Masya Allah . . . Good 🤗

    ReplyDelete
  2. Lanjutkan....luar biasa...salam idul fitri

    ReplyDelete

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.