Bank Syariah, jangan Kembali pada Mantan

Share:

Oleh : Abu Teuming

Penyuluh Agama Islam Aceh Besar. Pengurus Forum Aceh Menulis (FAMe), Pengurus DPP Inspirasi Keluarga Anti Narkoba (IKAN) dan Kader Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Aceh


Beberapa hari terakhir, pelayanan Bank Syariah Indonesia (BSI), khususnya yang beroperasi di Aceh mengalami gangguan, sehingga pelayanan kerap macet, buruk, bahkan menyebalkan.

Pejabat, pedagang, dan masyarakat pun mengeluh dengan beragam statamen, sesuai suasana hati yang  dirasakan.

Sebagian nasabah membandingkan bank konvensional dengan bank syariah. Mereka merasakan lebih puas pelayanan bank konvensional. Ini memang perlu kita akui, selain fasilitas lengkap, bank ini pun sudah lanjut usia. Artinya mereka sudah kenyang dengan pengalaman buruk, kini saatnya melayani maksimal dan memuaskan.

Berbeda dengan BSI, yang baru seumuran jagung, berdiri saja belum tegap, apalagi melayani nasabah secara maksimal. Namun nasabah tak mau tahu, setiap bank harus memanjakan nasabah, agar betah dengan bank itu. Ini pun harus dimaklumi, sebab ada kepenting-kepentingan mendesak yang kadang harus disegerakan, terutama para pembisnis yang perlu gerak cepat dalam hal transaksi keuangan.

Ada pula komentar nasabah, transfer uang sesama bank syariah saja dipotong. Apa juga syariah?

Sejujurnya, dipotong uang itu atas nama jasa, bukan riba, ini wajar. Ketika warga kirim uang lewat L300 pun dipotong, Rp 20 ribu, atau lewat pos, juga berbayar. Wajar, mereka menjual jasa.

Nasabah mengharapkan pelayanan bank syariah super prima, maksimal, dan praktis. Tetapi kala dipotong biaya jasa merepet. Dari mana bank syariah mampu sediakan fasilitas teknologi dan pelayanan unggul jika tidak ambil biaya jasa dari nasabab, bukan ambil bunga.

Mestinya, atas nama syariah didukung, selama bukan hanya embel-embel syariah. Kekurangan dan pelayanan rusak, mesti dibenahi bukan dihujat habis-habisan pihak yang berusaha bermualah dengan hukum langit.

Kalau bank mengatasnamakan syariah, sedangkan sistemnya lebih yahudi, tinggal semprot saja sistem ribanya, jangan bantai syariahnya. Karena menggugat syariah sama halnya menggugat hukum Allah, bisa fatal dan rusak akidah. Semoga uneg-uneg yang dikeluarkan nasabah tidak meremehkan syariat.

Jika alasan sistem syariah belum siap, lalu terkesan dipaksakan oleh pemerintah, maka solusi dalam Islam adalah bersegera pada kebaikan, dan segera pula meninggalkan kemungkaran. 

Saya pribadi, tidak betah dengan konvesional yang jelas-jelas menerapkan sistem ribawi. Yusuf Qaradhawi sudah lama memberikan fatwa haram bank konvesional sebab ada riba. Lebih dari itu bekerja di bank konvensional haram. Lalu apa yang mesti dipertahankan dari transaksi berlumuran riba ini, bila telah ada yang halal walau lelet layanan.

Percayalah, bermain pada garis yang dilarang syariat akan berdampak pada sisi kehidupan lainnya, baik harta, keluarga, bahkan diri sendiri. Namun hal ini jarang disadiri, kecuali orang yang pandai memetik hikmah.

Satu hal yang wajib disadari dan dilakukan oleh muslim, sabar dalam ketentuan syariah lebih baik ketimbang enak dalam maksiat, betah dalam sistem riba. 

Memang berat dan ribet salat tarawih hingga 20 rakaat, atau puasa sebulan penuh. Tetapi sabar dan tetap istikamah dalam syariat lebih baik, walau terlihat menderita karena puasa, atau lelah karena lama berdiri salat.

Memang berat menerapkan syariat Islam di bumi ini. Rasulullah telah merasakan sejak awal menyebarkan Islam hingga wafatnya. Banyak sekali yang menentang dan membenci Islam.

Soal mantan lebih baik, kadang baik di mata manusia, tidak baik di sisi Allah. Semua muslim, seyogyanya meyakini hanya yang diatur oleh Allah yang super baik, meskipun terlihat buruk di mata manusia. Sebab patron muslim adalah syariat, bukan kesenangan duniawi, yang tidak melihat efek ukhrawi.

Catatan terakhir, BSI jangan mau kembali pada mantan, yaitu bank konvesional. Cukup orang yang tertipu rayuan mantan saja yang kepincut bekasnya sendiri. 

No comments

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.