Indahnya Makmeugang di Kampong

Share:

MAKMEUGANG, begitulah istilah yang selalu dipergunakan oleh masyarakat Aceh, yang berdomisili di perkampungan, bibir pantai, atau di pegunungan. Kata “makmeugang” berasal dari megang, yang juga digunakan dalam bahasa Indonesia. Namun akulturasi bahasa dalam kehidupan sosial masyarakat telah menciptakan kata baru dengan sebutan “makmeugang”. Memaknai istilah tersebut sebenarnya lumayan sulit, tetapi memahaminya sangat mudah dan masyarakat akan paham secara spontan jika mendengar istilah ini.

Hari megang memang sudah berakar dan tumbuh subur di tanah Aceh, baik di kota maupun desa. Namun suasana megang yang terpancarkan dalam kehidupan masyarakat perkampungan berbeda secara signifikan dengan keadaan di kota. Memang setiap hari megang, yang marak terjadi adalah sembelih hewan ternak lagi halal dikonsumsi. Pasar-pasar hewan disibukkan dengan tawar menawar harga daging, masyarakat berbondong-bondong memadati tempat diperdagangkan menu bergizi ini.

Model masyarakat

Berbeda dengan masyarakat di perkampungan. Di kampung paling kurang ada dua tipe masyarakat yang akan membeli daging, sebagai bentuk pemuliaan kedatangan bulan suci Ramadhan dan wadah meningkatkan ketakwaan. Pertama, sebagian masyarakat memilih membeli daging di kampung tempat mereka tinggal, hal ini akan menghemat pengeluaran, apalagi era sekarang BBM mulai melonjak dan pasar-pasar hewan itu hanya ada di kota-kota kecamatan, tentunya sebagian kampung harus menempuh perjalanan yang sedikit lama untuk membeli daging. Oleh karena itu, mereka lebih memilih membeli daging di kampung, karena setiap kali “makmeugang” di kampung-kampung akan ada penyembelihan lembu oleh masyarakat setempat.

Kedua, sebagian masyarakat lebih memilih membeli daging di pasar hewan yang terletak di pusat kecamatan. Hal ini juga dimanfaatkan untuk berbelanja perlengkapan dapur lainnya untuk memasak daging yang akan dibeli. Namun hari megang yang menjadi tradisi di kampung hanya sekali, yakni jika besok telah diyakini berdasarkan keputusan sidang isbat oleh pemerintah akan masuk tanggal 1 Ramadhan, maka hari ini mereka disibukkan dengan menyembelih hewan seperti lembu, kerbau, kambing bahkan ada yang menyembelih ayam atau bebek.

Berbeda dengan keadaan kota yang mengadakan dua kali megang, pertama  “meugang kanto” artinya hari penyembelihan hewan bagi masyarakat Aceh yang bekerja di kantor pemerintahan, waktunya dua hari sebelum tanggal 1 Ramadhan. Kedua, megang secara umum yang biasa dilakukan satu hari sebelum tanggal 1 Ramadhan.

Tradisi kampung

Jika melirik suasana megang di kampung akan terasa sekali perbedaan dengan megang di kota. Kebiasan masyarakan Aceh yang tinggal di kampung akan menyambut megang dengan penuh kesiapan, satu hal yang tidak pernah dilupakan oleh mereka adalah mempersiapkan “U Teulheu” (kelapa yang digonseng).

U teulheu adalah alat masakan daging tradisional masyarakat Aceh, yang tidak bisa ditinggalkan, karena akan mempengaruhi rasa dan aroma. Bahkan jika Anda melihat orang kampung sedang gonseng kelapa, pasti ingin memakannya, karena aromanya yang sedap dan khas Aceh. Namun bagi masyarakat kampung ada pantangan makan u teulheu yang sedang digonseng. Kesibukan ibu-ibu menggongseng kelapa bisa disaksikan pada malam hari sebelum megang. Begitu antusiasnya mereka menyambut kedatangan Ramadhan.

Terdapat tradisi lain yang menghiasi suasana megang di kampung, sehingga menciptakan ruang kampung yang lebih indah. Ketika masyarakat selesai memasak daging yang dibeli pada hari megang, tepatnya jam makan siang, mereka akan menghidangkan kepada anak-anak yatim dan fakir miskin di kampung tersebut, yang sudah disampaikan undangan secara lisan sejak pagi megang. Selesai mereka memakan khanduri dari yang punya rumah, mereka juga akan diberikan sedekah dalam salam tempel.

Begitulah indahnya kehidupan di kampung, tingkat sosialnya masih tinggi, bila makan enak seakan tidak ada manfaat tanpa memberikan sedikit makan pada orang miskin dan anak yatim. Kadang ada dari mereka yang tinggal di kampung tidak makan daging pada hari megang, karena keterbatasan ekonomi orang tua, maka untuk berbagi rasa dan kesenangan masyarakat menyediakan ala kadar hidangan pada orang yang tidak mampu.

Satu lagi hal yang menjadi tradisi masyarakat kampung saat hari megang. Tradisi “Intat Kuah” (mengantarkan kuah). Intat kuah sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun bagi masyarakat Aceh, terutama mereka yang memiliki sedikit kelebihan rezeki. Jika pagi hari seorang Abi atau suami sibuk berbelanja daging megang untuk dimasak, sedangkan Umi atau isteri disibukkan dengan menyiapkan alat-alat untuk memasak daging yang akan dibawa pulang oleh suami. Maka ketika masakan sudah selesai dan siap saji, mereka akan kembali disibukkan dengan intat kuah ke rumah mertua.

Mengantarkan masakan daging megang merupakan tradisi yang terus dilestarikan oleh mereka yang sudah menikah, terutama yang masih dalam hubungan pernikahan muda. Mereka akan mendatangi rumah mertua untuk membawakan masakan dalam rantangan yang diisi dengan aneka masakan disertai nasi. Walaupun suami isteri menyadari bahwa mertua juga memasak daging megang di rumah, namun tradisi intat kuah ini tetap saja dilakukan oleh masayarakat kampung. Hal ini sebagai momentum mempererat tali persaudaraan dan silaturrahmi.

Demikianlah sekelumit tata kehidupan sosial masyarakat Aceh yang tinggal di desa ketika hari megang. Itulah sebabnya ketika muda-mudi Aceh berada di perantauan, mereka lebih memilih pulang ke kampung halaman ketika hari megang. Menyambut bulan suci Ramadhan bersama keluarga jauh lebih indah ketimbang di negeri perantuan. Semoga.

Abu Teuming: Penyuluh Agama Aceh Besar, DPP IKAN, IMC Aceh dan Direktur K-Samara

2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Alangkah indahnya orang-orang yang ada kampung halaman diperdesaan jauh hari sudah mempersiapkan U Teulheu, bagaimana dengan kami kampung halamannya diperkotaan 😢😀

    ReplyDelete

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.