Oleh: Abu Teuming
Penyuluh Agama pada Kuakec Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Pengurus DPP Inspirasi Keluarga Anti Narkoba (IKAN) dan anggota FAMe
Selasa, 16 Maret 2021, jadi hari air mata bagi Aceh, sebab Abu Muhammad Daud Zamzami menghembus nafas terakhir, menghadap sang pencipta, sekira pukul 09:45 WIB. Dalam sekejab, bak petir menyambar, kabar meninggalnya ulama sepuh ini menyebar luas di media sosial (medsos). Hampir tidak ada yang percaya, sebab informasi dasar tidak akurat. Istilah wartawan belum memenuhi unsur 5W 1H.
Sesaat kemudian, informasi semakin komplet, berita naik status jadi valid. Doa dan belasungkawa mulai berseleweran, menghiasi medsos warga Aceh.
Kepergian sosok ulama kharismatik, yang juga Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh membuat kegiatan sebagian masyarakat Aceh tidak menentu. Satu sisi mereka harus takziah ke rumah duka, di pihak lain mereka sedang menjalani aktifitas di tempat masing-masing. Setelah mengkonfirmasi berita, saya bergegas menuju lokasi kediaman Abu Daud Zamzami, bersama rekan kerja.
Sepanjang jalan di kawasan Lam Ateuk, terlihat masyarakat berduyun-duyun melayat ke rumah duka, di Gampong Ateuk Angguk, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Kalangan dayah, pecinta sarung memadati rumah ini. Tampak pula akademisi, guru-guru besar, dominannya dari UIN Ar-Raniry, para imam masjid kebanggan rakyat Aceh, dan yang pasti adalah kolega kerja Abu Daud Zamzami, baik staf di kantor MPU Aceh, maupun anggota MPU kabupaten/kota dalam wilayah Aceh.
Berbagai organisasi masyarakat (Ormas) hadir, terutama yang ada korelasi dengan Abu Daud Zamzami, seperti Inshafuddin dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA).
Pukul 11.00 WIB, semua pelayat tetap setia menanti jenazah dimandikan dan dikafani. Usai dikenakan pakaian terakhir, jenazah dibawa ke hadapan jamaah. Tgk. Athaillah Ishak Al-Amiri, yang biasa disapa Abu Ulee Titi memberikan tausiah pelepasan jenazah di musala Dayah Riyadhusshalihin, yang dipimpin Abu Daud Zamzami semasa hidup. Ia mewakili keluarga almarhum, memohon maaf pada mantan aktifis Ormas seperti Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), pengurus Inshafuddin, dan segenap masyarakat Aceh, khususnya yang hadir ke rumah duka. Apalagi setelah menjabat Ketua MPU Aceh, Abu Daud Zamzami belum menunaikan amanah negara sepenuhnya, lantaran kondisi kesehatan tidak menentu.
Pimpinan Dayah Ulee Titi ini membaca hadis populer, riwayat Imam Bukhari, “Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk pada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.”
Abu Ulee Titi mengingatkan masyarakat, pada akhir zaman akan dilantik orang-orang bodoh sebagai pemimpin dan penguasa, lalu mereka memutuskan perkara dengan kebodohan itu, bahkan mereka menyesatkan orang lain. Maka tingkatkan pemahaman agama, supaya dapat menyelesaikan permasalahan dengan benar di dunia.
Usai memberi nasihat, Abu Ulee Titi mempraktikan tradisi meminta maaf pada hadirin, sebagaimana berlaku dalam adat Aceh, setiap ada yang meninggal, pihak keluarga atau yang mewakili akan memohon maaf untuk si mayit. Lumrahnya bertanya “apakah sudah memaafkan kesalahannya?”, secara serentak para hadirin merespon bahwa telah memaafkan, walaupun tidak pernah merasa bersalah dengan si mayit.
Setelah tausiah, dilanjut dengan shalat. Kebetulan, jenazah baru siap dikafani tepat waktu Zuhur, namun diawali dengan shalat Zuhur berjamaah. Masyarakat shalat secara bergantian, sebab ukuran musala tidak mampu menampung jamaah. Ibadah Zuhur pun dilakukan dua sesi di musala.
Selanjutnya baru dilaksanakan shalat jenazah. Shalat jenazah ditunaikan empat sesi. Mereka yang telah shalat pada sesi perdana, langsung keluar musala, bergantian dengan jamaah yang belum menshalatkannya. Jamaah yang menanti kesempatan, pasrah menunggu di bawah matahari. Namun beruntung, setelah sesi ketiga selesai, cuaca kian bersahabat, mendung mulai menghiasi langit Aceh Besar. Para pelayat seakan mendapat keadilan, duduk di bawah langit tanpa sinar matahari. Mereka yang tadinya berdiri di lapangan terbuka sudah merasa nyaman, hilang rasa kepayahan sebab terik mentari.
Sesi pertama, imamnya Tgk Bustami, anak kandung Abu Daud Zamzami. Sesi kedua diimami Abu Ulee Titi. Sesi ketiga dipimpin oleh Abi Lampisang. Sayangnya, saya tidak dapat infomasi yang jadi imam sesi keempat. Intinya, diimami oleh tokoh agama yang berpengaruh dalam masyarakat Aceh Besar.
Sebelum mayat dishalatkan, cuaca tidak bersahabat, sehingga ribuan warga yang hadir merasa kepanasan, namun mereka rela berdiri di terik matahari, sebab tempat berteduh tidak mampu menampung jamaah, karena ramainya muslim yang melayat ke rumah duka. Sebagian jamaah mencari pohon besar, demi berteduh dari sinar mentari.
Hingga azan pelepasan mayat selesai dikumandangkan, pada pukul 14.20 WIB, cuaca masih mendung, jamaah belum menjerit. Rasanya, hampir tidak ada masyarakat yang pergi meninggalkan lokasi duka sebelum jenazah selesai dikebumikan dan sebelum talqin mayat.
Pada saat memimpin talqin mayat, Abu Ulee Titi berkata dalam bahasa Aceh, sebagaimana engkau (Abu Daud Zamzami) telah mengajari kami maka jawablah pertanyaan malaikat demikian. Engkau sekarang berada di alam kubur, telah keluar dari dunia menuju alam akhirat. Lalu Abu Ulee Titi bertanya pada jamaah, benarkah orang tua kita ini beragama Islam? Benarkah ia orang beriman? Benarkah ia orang baik? Benarkan ia penghuni surga? Serentak jamaah menjawab tiap pertanyaan dengan jawaban sama, yaitu benar.
Abu Ulee Titi meyakinkan jamaah bahwa mati ini benar adanya, sungguh kubur itu benar, nikmat kubur itu benar ada bagi yang mendapatkan, azab kubur ini benar ada bagi siapa yang mendapatkannya, benar bahwa mayat akan ditanya oleh dua malaikat, sungguh banggkit itu banar, sungguh hisap itu benar, sungguh surga dan neraka itu benar, dan kita akan jumpa Allah itu benar.
Abu Ulee Titi melanjutkan talqin mayat. Kini, Abu Daud Zamzami berada dalam rombongan orang yang telah meninggal. Bila datang dua malaikat, Munkar dan Nakir, mereka tidak menakuti, sungguh dua malaikat itu adalah makhluk Allah. Bila ditanya, siapa Tuhanmu?, jawab dengan kalam fasih, Allah Tuhanku, Muhammad Nabiku, Islam agamaku, kakbah kiblatku, Alquran imamku, muslim laki dan perempuan saudaraku.
Usai talqin, dilanjutkan samadiyah, diiukti oleh ribuan jamaah. Alam seakan paham, hingga pukul 14.59 WIB, iklim sangat mendukung, jamaah tampak tenang duduk di rumput dan tempat terbuka, tanpa khawatir panasnya sinar mentari.
Setelah pelaksanaan fardhu kifayah, masyarakat mulai meninggalkan rumah duka. Walaupun telah selesai, banyak warga yang tampak sedih dan terpukul atas meninggalnya ulama, apalagi ia murid Abuya Muda Waly Al-Khalidy, sosok ulama ternama yang telah mencapai maqam makrifah.
Wajar jika warga sedih, sebab padamnya cahaya dunia (ilmu). Bahkan sangat disayangkan bila ada muslim yang tidak berduka ketika ulama meninggal. Padahal Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam Tanqih Al-Qaul menulis hadis Nabi Muhammad, dengan redaksi “Barang siapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik, munafik, munafik.”
Semoga kita berada pada golongan yang benar.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun
ReplyDelete