Menanti DPRA “Hamil” dan "Melahirkan"

Share:

BELAKANGAN muncul isu Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sedang menggodok dan menghelat rapat dengar pendapat terkait qanun larangan merokok di tempat umum, dengan istilah Qanun Kawasan Tanpa Rokok (RTP). Bisa baca Serambi Indonesia, terbitan Rabu (25/11/2020).

Ide ini tentu dipicu oleh keresahan masyarakat terhadap perokok aktif, yang dapat mengganggu kenyamanan, bahkan mengancam kesehatan orang lain, yang tak hobi hisap asap. Paling tidak, ada kemaslahatan publik dengan lahirnya qanun itu.

Namun, semua sadar, qanun tersebut telah lama diidamkan, khususnya oleh pembenci rokok. Lebih jauh lagi pembeci taipan, sembilan naga, yang dominan pabrik rokok dikuasai mereka. Jika mau jujur, kehadiran qanun tata cara merokok belum begitu mendesak. Sebab tidak ada pelanggaran serius dari kegiatan merokok. Bahkan, dalam literatur Islam tidak terdapat dalil qath’i tentang haramnya merokok. Sehingga banyak berkeliaran perokok di Aceh, seperti pada kalangan penuntut ilmu di instansi tradisional, yang dalam bahasa qanun disebut lembaga non formal.

Berbeda dengan warga Muhammadiyah, yang secara jelas mengharamkan benda sepanjang jari itu. Kelompok ini memiliki dalil tersendiri untuk melahirkan vonis haram merokok. Berbanding terbalik, dengan kelompok Nadhlatul Ulama (NU), yang masih membolehkan merokok dalam kondisi tertentu.

Artikel ini tidak hendak membahas status halal atau haram merokok. Tetapi mengarah pada kerinduan lahirnya aturan qisas, rajam, dan potong tangan. Entah disusun qanun tunggal, atau disisipkan dalam Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Paling tidak, ada beberapa argumentasi rindu lahirnya qanun atau pasal terkait hukuman rajam, potong tangan, dan qisas. Akhir-akhir ini, pembunuhan di Aceh amat merajalela. Kasus yang paling menyita perhatian publik adalah pembunuhan Rangga dan pemerkosaan ibunya. Insiden terbaru, anak menganiaya orang tua, yang disebut-sebut bermotif tidak diberikan biaya pernihakan oleh ayah. Sadisnya, pria beringas itu juga menganiaya orang lain, dengan konsekuensi hilangnya dua jari.

Fenomena ini bukan perdana di Aceh. Bahkan peristiwa pembunuhan dan ‘zina' terjadi dalam waktu bersamaan, saban hari. Tak ubahnya kasus kembar, sebab terjadi berdekatan.

Statistik kriminal

Jika mengamati kondisi Aceh zaman now, rasanya statistik kasus kriminal berat hampir setara dengan provinsi lain di Indonesia. Bisa jadi melebihi kasus kriminal di kota metropolitan. Tidak heran jika ada statemen, ‘barokoen di jawa ta dengoe, jino di Aceh pih kana”. Artinya, kriminal sekelas penghilangan nyawa, pembunuhan ibu bapak, orang tua cabuli anak dan pembuangan bayi baru lahir biasanya terjadi di luar serambi mekah.

Realitas tersebut mestinya tidak dipandang sepele. Pemerintah Aceh bersama kolega kerjanya harus melahirkan kebijakan strategis dan perlindungan. Dalam hal ini kebijakan berbentuk regulasi, yang melindungi jiwa dan kehormatan manusia. Pemegang tampuk kekuasaan di Aceh, seyogyanya tidak hanya mengandalkan hukum yang ada, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat pelaku kejahatan di atas. Pidana Islam dalam kasus korupsi, pencurian, zina, qisas harus dipikirkan dan diterapkan di Aceh.

Anggota DPRA harus segara “kawinkan” pendapat dan diskusi. Sebab pecinta Islam di tanah rencong tak sabar menanti “kehamilan” DPRA, yang selanjutnya melahirkan qanun. Sebagai pabrik hukum Aceh, tidak berlebihan jika DPRA ada program kerja untuk merancang hukuman rajam, qisas, potong tangan dan korupsi. Sebab keadaan Aceh kian parah. Degradasi moral terus melangit. Bila istiqamah mengandalkan KUHP, yang hanya memberi sanksi penjara, pasti laju pertumbuhan jarimah sulit dihentikan.

Publik tahu, Aceh telah lama mengusung diri sebagai daerah yang mengaplikasikan syariat Islam kafah, terutama penerapan hukuman dalam Islam. Namun belum totalitas, dengan dalih perlahan-lahan, dan masih tahap sosialisasi. Paling tidak, Islam kafah yang digaungkan masih terbilang cacat. Sebab penggunaan istilah kafah bermakna tidak ada satu poin pun yang tertinggal untuk diadopsi sebagai hukum positif. Mulai dari A sampai Z.

Belum tersirat dan tersurat

Dalam Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, belum tersirat dan tersurat hukuman rajam, qisas, sanksi korupsi dan potong tangan. Justru hanya berkisar cambuk dan cambuk. Pascaqanun tersebut, pezina hanya dihukum cambuk, dengan jumlah jilid sesuai keputusan hakim. Padahal bila merujuk pada Al-Quran dan hadis, pezina memiliki hukuman alternatif, bisa dicambuk, atau dirajam dengan pertimbangan syarat yang super ketat.

Sejak berlaku syariat Islam, 2002, belum ada pezina yang divonis rajam. Wajar memang, karena belum ada aturan yang disahkan DPRA. Karenanya, kehadiran qanun atau pasal sanksi rajam, potong tangan, dan qisas perlu dicanangkan segera. Toh hukum tersebut memiliki landasan kuat, dan qath’i. Ketimbang mengatur lokasi merokok (bukan haram rokok), yang penggunaan dalilnya masih khilafiyah hingga detik ini.

Memang penerapan syariat komprehensif butuh waktu lama, dan wajib melibatkan banyak pihak. Namun jika mendahulukan qanun etika merokok ketimbang menambah pasal rajam, qisas, dan potong tangan dalam qanun jinayah yang ada, tentu keberadaan dewan belum berfungsi maksimal. Sebab memprioritaskan qanun yang tidak krusial ketimbang rentetan sanksi tersebut dalam naskah ini, yang nyata-nyata perlu ditetapkan. Dalam bahasa masyarakat disebut hukum setimpal.

Sebelumnya, aturan rajam telah ada dalam Qanun Hukum Jinayat, namun dicabut oleh tim penyusun. Mungkin ada tekanan pihak tertentu, dengan segudang dalih, misal melanggar hak asasi manusia (HAM). Jika terus meladeni pihak yang meneriakkan syariat Islam di Aceh melanggar HAM, cambuk yang saat ini dilaksanakan juga melanggar HAM. Sebab patron yang digunakan adalah HAM barat, bukan HAM dalam Islam. Padahal Islam juga memiliki HAM, yang konsepnya jauh lebih menyelamatkan manusia, ketimbang HAM yang diusung pihak barat.

Pada intinya, hukum Islam mengandung kemasalahatan dan membawa sejuta hikmah, yang kadang tak mampu dicerna oleh kalangan tertentu, termasuk negara anti Islam. Prinsip dasar Islam adalah menuntun pada kebaikan, melindungi langit dan bumi serta isinya, yang dikemas dengan istilah maqashid syari’ah. Ketika muncul anggapan hukum Islam sangat kejam, maka yang kejam adalah cara berpikir kelompok tersebut, atau kurang mendalami kajian Islam.

Harapan, qanun KTR harus lahir. Terpenting jangan takut “hamil” qanun rajam, potong tangan, dan qisas. Karena mayoritas rakyat Aceh sudah mempersiapkan “alat persalinan” regulasi tersebut. Soal materi hukum, banyak pakar di Aceh yang mau berkecimpung untuk “membuahi” qanun itu.

Doktrin terkahir, kejayaan Aceh melekat dengan Islam. Maka jangan pisahkan keduanya. Sejak dahulu, hasil alam Aceh melimpah. Berbagai sumber kakayaan ada dalam perut bumi Aceh. Bisa jadi karena ketaatan rakyat Aceh tempo dulu, termasuk taat dalam mengadopsi hukum Islam sebagai hukum negara. Imbasnya, Allah akan memakmurkan suatu kaum jika kaum itu patuh pada syariah, sesuai pesan ayat. Semoga!

*Abu Teuming

Pegiat Forum Aceh Menulis (FAMe), Penyuluh Agama dan alumnus Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

No comments

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.