Makam Cut Nyak Dhien, Objek Wisata Religi di Sumedang

Share:

 

Kekayaan alam Indonesia selalu dilirik dan jadi pembicaraan masyarakat internasional, baik kandungan perut bumi dan pesona alam yang memikat hati. Tidak heran jika Indonesia jadi target pelancong mancanegara setiap tahunnya, yang terus berdatangan ke negeri berpenduduk muslim terbesar ini.

Bagi pribumi dan warga internasional, Indonesia adalah serpihan surga, yang menawarkan sejuta keindahan alam. Sehingga patut dijelajahi, minimal sekali seumur hidup.

Ternyata, wisatawan lokal dan mancanegara bukan hanya mencari destinasi hiburan seperti laut, gunung, dan pesona alam lainnya. Tetapi banyak pelancong yang mendatangi objek dan situs cagar budaya islami, yang kerap disebut wisata religi. Wisata religi  biasanya dijadikan sebagai momen renungan dan menambah wawasan terhadap situs bersejarah, makam-makam pejuang Islam, dan kehebatan orang tempo dulu. Alasan inilah yang mendorong semangat muslim Indonesia dan luar negeri untuk mengunjungi objek wisata religi di tanah air.

Penduduk Indonesia dikenal sebagai penghuni bumi yang memiliki sifat dermawan, beradab, dan ramah terhadap siapa pun. Semua ini tidak terlepas dari estetika agama, keimanan, dan nilai Islam yang mereka yakini, sehingga terpancar dalam setiap gerak kehidupan.

Keimanan dan Islam menjadi nilai yang tidak bisa ditawar, terutama terhadap musuh yang ingin menguasai tanah air, dengan berbagai kepentingan. Setiap orang yang berdiam di bumi nusantara akan melawan penjajah yang berlaku sewenang atas hak pribumi Indonesia. Hal ini yang mewarnai perjuangan rakyat Indonesia ketika Belanda menjajah nusantara.


Atas dasar agama dan cinta tanah air, rakyat Indonesia tetap gigih berjuang, meskipun perlengkapan perang jauh lebih rendah dan tradisional daripada alat perang tentara Belanda yang terbilang modern. Bukan hanya kaum lelaki, perempuan pun ikut terlibat mempertahankan tanah air dari rongrongan kolonial Belanda. Kehadiran perempuan di garis perjuangan mempunyai arti tersediri, bahwa perempuan tidak bisa diperlakukan sewenang oleh penjajah. Darah pejuang perempuan menjadi saksi bahwa Indonesia tidak tunduk pada penjahat perang.

Cut Nyak Dhien, tercatat sebagai perempuan kaliber dunia, yang gagah menentang kolonial Belanda. Ia punya pengaruh besar memantik semangat pejuang, demi mengusir bangsa kulit putih itu.

Cut Nyak Dhien merupakan sosok panglima perang Aceh dari kalangan perempuan. Ia lahir pada 1848, di Lampadang, wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh.

Sebelum memutuskan gerilya melawan Belanda, Cut Nyak Dhien hanya ibu rumah tangga. Suaminya bernama Ibrahim Lamnga, seorang pejuang Aceh yang tegas melawan Belanda. Perempuan pecinta hijab ini mendukung penuh perjuangan suami mengusir Belanda. Namun Allah berkehandak lain, suaminya, Ibrahim Lamnga gugur dalam insiden peperangan, pada 29 Juni 1878. Sebab meninggal suami, menjadi awal Cut Nyak Dhien terjun dalam dunia angkat senjata, yang populer dengan istilah Perang Aceh melawan Hindia Belanda.

Setelah hidup menyendiri selama tiga tahun, Cut Nyak Dhien dilamar oleh panglima perang Aceh asal Meulaboh, yaitu Teuku Umar Johan Pahlawan. Ia rela dipersunting, dengan syarat diberikan hak untuk bergerilya melawan Belanda. Pada 1880, Cut Nyak Dhien sah menjadi permaisuri Teuku Umar. Keduanya hidup bersama dan mempertahankan Aceh di Meulaboh, sekarang masuk wilayah Kabupaten Aceh Barat.

Hampir dua puluh tahun pasangan ini berjuang bersama. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur saat menyerang Belanda di Meulaboh. Kehilangan suami kedua, menjadi puncak kemarahan Cut Nyak Dhien terhadap Belanda. Ia pun membentuk kelompok perang dan memimpin sendiri perlawan Belanda di pedalaman Meulaboh.

Perlengkapan perang yang terbatas, membuat Cut Nyak Dhien kewalahan bertahan dari serangan Belanda. Namun Belanda mengakui, tidak mudah menangkap perempuan tersebut. Usia dan penyakitlah yang membuat perjuangannya terhenti. Pang Laot, sosok pria kepercayaan Cut Nyak Dhien mengabarkan tempat persembunyiannya pada Belanda, dengan dalih iba, lantaran matanya tidak bisa melihat lagi, usia pun kian tua.

Pada 1906, Cut Nyak Dhien ditangkap Belanda, kemudian diasingkan ke Sumedang. Kini Provinsi Jawa Barat. Pengasingan bertujuan untuk memutuskan komunikasi Cut Nyak Dhien dengan pejuang Aceh. Sebab ia masih memiliki pengaruh besar dalam tubuh perjuangan rakyat Aceh demi menentang pasukan Belanda.

Di Sumedang, Cut Nyak Dhien ditempatkan di sebuah rumah, yang disiapkan oleh Bupati Sumedang, Aria Soeria Atmadja. Ia pun dijaga dan dirawat oleh KH. Sanusi, seorang ulama pemerintah atas permintaan Bupati Sumedang saat itu. Namun identitas Cut Nyak Dhien disembunyikan oleh Belanda. Sehingga warga setempat menyebutnya Ibu Perbu, karena Cut Nyak Dhien memiliki ilmu pengetahuan Islam secara mendalam. Ketika itu, tidak ada warga yang tahu bahwa Ibu Perbu tersebut adalah pejuang Aceh bernama Cut Nyak Dhien. Meskipun Cut Nyak Dhien sempat bercerita pada KH. Sanusi tentang dirinya, namun ulama pemerintahan ini terpaksa menyembunyikan identitas Cut Nyak Dhien. Sebab tersiar kabar suaminya, Teuku Umar masih hidup. KH. Sanusi khawatir Belanda akan bersikap keras pada Cut Nyak Dhien jika benar Teuku Umar masih ada.

Sisa hidup Cut Nyak Dhien di Sumedang dimanfaatkan untuk mengajari ilmu keislaman bagi masyarakat sekitar. Keahliannya di bidang agama, menjadi rujukan warga setempat. Jasanya dalam penguatan pemahaman Islam di Sumedang menjadi alasan masyarakat setempat memberi gelar padanya Ibu Perbu, alias Ibu Suci. Suci sebab matanya buta, namun bisa mengajar Al-Quran dan fikih dengan keterbatasan fisik.

Kebersamaannya dengan masyarakat Sumedang tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua tahun. Pada 6 November 1908 Cut Nyak Dhien tutup usia. Kenyataan ini membuat masyarakat merasa kehilangan sosok wanita pendidik.

Cut Nyak Dhien dimakamkan di Sumedang, setelah bermusyawarah dengan penjaganya, yaitu keluarga KH Sanusi. Sebab saat itu, tidak mungkin jenazahnya dipulangkan ke Aceh, yang menghabiskan waktu lama lantaran transportasi terbatas. Tempat peristirahatan terakhir Cut Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang. Tepatnya di area pemakaman keluarga Ibu Rd. Siti Hodidjah. Dikenal pula komplek makam keluarga besar KH. Sanusi. Tidak jauh dari makam Cut Nyak Dhien terdapat makam Pangeran Soeria Koesoemah Adinata dan keluarga pangeran.

Meskipun Cut Nyak Dhien dimakamkan di Sumedang, tetapi tidak seorang pun tau bahwa jenazah yang terbaring di liang makam adalah Cut Nyak Dhien. Pascapencarian yang dilakukan Pemerintah Aceh pada 1959, di bawah kepemimpinan Ibrahim Hasan, baru diketahui makam Ibu Perbu merupakan Cut Nyak Dhien, yang dibuang oleh Belanda sejak zaman penjajahan. Kemudian Presiden Soekarno mengakui pejuang Aceh itu sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964. Pada 1987, makam Cut Nyak Dhien diperindah dan dipugar dengan biaya Pemerintah Aceh.

Nah, kini Sumedang dikenal sebagai sebuah kabupaten dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat, dengan Ibu Kota Sumedang. Mayoritas masyarakatnya suku Sunda, yang memiliki gaya tutur kata lembut, tentu beda dengan logat lainnya.

Kalau berminat mengunjungi makam Cut Nyak Dhien, jangan salah tuju. Sebab di sana banyak makam kuno, yang juga orang-orang terhormat di Sumedang kala itu. Soal jalur transportasi, tidak perlu resah. Jalan menuju komplek makan sangat mulus, mudah dilalui kendaraan apa pun. Tersedia bermacam jenis angkutan, dengan harga sangat ramah di kantong.

Keberadaan makam Cut Nyak Dhien di tanah Sumedang, memberi berkah tersendiri bagi pemerintah dan warga setempat. Sebab Cut Nyak Dhien dikenal sebagai pejuang yang konsisten menentang penjajah Belanda, khususnya di wilayah Aceh.

Kehebatan Cut Nyak Dhien menjadi daya tarik wisatawan di nusantara. Banyak peziarah datang dari Jakarta, Tangerang, Banten dan warga Aceh. Bagi warga Aceh, Cut Nyak Dhien adalah pahlawan sejati yang tidak pernah menyerah pada Belanda. Sikap tidak menyerah pada penjajah meskipun telah tua dan tubuh dihinggapi berbagai penyakit tidak terlepas dari nilai Islam yang ia pahami. Sehingga terpatri dalam misi kemerdekaan.

Setiap muslim menyadari dan patut meyakini bahwa pengasingan Cut Nyak Dhien sebagai cara Tuhan menyambung silaturahim antara Aceh dengan Sunda, khususnya Sumedang. Kekuatan silaturahmi ini menjadi energi positif bagi Sumedang, dalam upaya kemajuan pariwisata. Tidak heran jika penulis Sunda mencatut judul buku “Aceh di Mata Urang Sunda”, karya Arif Ramdan.

Di makam Cut Nyak Dhien, hampir tidak pernah sepi pengunjung, yang datang berziarah dan mendoakan pahlawan itu. Puncak kunjungan selalu terjadi pada 10 November, sebagai hari Pahlawan Nasional.

Kini, makam Cut Nyak Dhien terlihat indah, pasca dibangun oleh Pemerintah Aceh tahun 1987. Bagi peziarah, tersedia tempat duduk yang nyaman, untuk berdoa dan tawasul. Sebuah meunasah (musala) mini berdiri kokoh, yang berguna sebagai tempat salat.

Komplek makam terlihat indah, bersih, dan tampak terawat. Memang, komplek makam Cut Nyak Dhien dan kubur di sekitarnya dirawat oleh keluarga besar KH. Sanusi secara turun temurun. Mereka lah juru kunci, yang setia menjelaskan sejarah Cut Nyak Dhien pada wisatawan yang datang. Sebenarnya, ada banyak juru kunci, namun mereka secara bergantian menjaga makam, melayani setiap peziarah.

Tidak ada pungutan biaya bagi pelancong yang  berwisata ke lokasi ini. Tetapi di seputaran makam tersedia kotak sedekah, bagi dermawan yang cinta amal. Sedekah para pengunjung menjadi sumber untuk perawatan makam, dan honor karyawan yang membersihkan komplek.

Demikian sosok Cut Nyak Dhien, sejak masih hidup selalu memberi manfaat bagi orang banyak. Bahkan saat ia tiada juga masih mengalir manfaat bagi orang lain. Banyak orang bergantung hidup dari hasil sedekah yang diletakkan di komplek makam. Kios-kios sederhana dan usaha warga di sekitar komplek pun kian meningkat.  Di sini nilai manfaat keberadaan Cut Nyak Dhien yang terus dirasakan warga sekitar.

Sejak ditetapkan sebagai pahlawan nasional, makam Cut Nyak Dhien dikunjungan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI), siswa sekolah, pegawai pemerintah, majlis taklim dan lainnya.

Bagi pengunjung, memiliki sensasi tersendiri  saat melangkah ke makam ini. Posisi makam yang berada di tepi bukit membuat suasana seakan hidup semasa dengan mereka. Alam asri, udara  segar, dan pemandangan hijau membuat pengunjung betah berlamaan di objek makam Cut Nyak Dhien.

Kepiawian juru kunci saat bercerita, menjadi pencita sejarah terpikat, sebab alur kisah yang mudah dicerna oleh pendengar, meskipun anak-anak.

Nisan makam terlihat indah, terdapat ukiran rencong Aceh, sebagai senjata khas rakyat Aceh tempo dulu. Rencong menunjukkan sikap perkasa warga Aceh, dan alat menjaga diri dari musuh yang menyerangnya. Kini, rencong digunakan setiap pesta pernikahan, yang diletakkan di pinggang pengantin pria. Sebagai bentuk kehebatan lelaki, dan melindungi istri.

Pada nisan tertulis nama Cut Nyak Dhien, ejaan lama Tjut Nya’ Dien. Disertai sekilas kisah perjuangannya, hingga diasingkan ke Sumedang. Ornamen Hikayat Aceh terbaca jelas, sebagai pemantik semangat juang rakyat Aceh ketika itu.

Aksara Arab, penggalan surat At-Taubah dan  Al-Fajr terukir rapi, yang mampu menambah kesan tersendiri bagi pengunjung.  Tiang-tiang penyangga, yang melindungi makam dari terik matahari dan ujan terlihat licin dan mengkilat. Di bawah atap itu, peziarah duduk, sambil berdoa untuk sang Srikandi. Nasional.

Tidak hanya makam, peziarah juga dapat berkunjung ke rumah tempat Cut Nyak Dhien tinggal, selama dua tahun di Sumedang. Berada tidak jauh dari komplek makam. Di sana, terdapat benda-benda bersejarah, dan tempat Cut Nyak Dhien mengajari warga sekitar. Kini, rumah itu kosong, namun terawat. Terlihat masih ada bangunan lama, kecuali sedikit renovasi yang tidak layak pakai dan lapuk.

Bagi Anda pecinta sejarah dan wisata, jangan lewatkan kesempatan berziarah ke makam Cut Nyak Dhien, yang berada di kota budaya, Sumedang.

No comments

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.