Ilustrasi
Foto: detiknews.com
4 Desember, hari bersejarah bagi
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bukan saja mereka, juga hari penting bagi
masyarakat Aceh. Menafikan perjuangan GAM adalah sebuah hal aneh. Padahal
otonomi khusus dan DOKA yang mengalir ke Aceh tidak terlepas dari perjungan
GAM. Walau yang mencicipinya hanya segelintir orang.
Berbicara GAM, sama halnya berbicara
konflik Aceh yang hampir 30 tahun. Dirasakan oleh semua lapisan masyarakat
Aceh, khususnya yang domisili di kampung.
Saya pribadi, saat RI-GAM damai, baru
masuk pendidikan SMA. Artinya baru usia puber, 16 tahun. Namun, kala kelas dua
MTsN, pada usia 14 tahun, saya punya cerita unik semasa konflik. Walau tak
berimbas banyak, sedikitnya kami merasakan pahitnya konflik.
19 Mei 2003, Pemerintah Indonesia yakin
menetapkan Aceh sebagai wilayah Operasi Militer. Saat itu Megawati Soekarno
Putri masih menjabat Presiden RI. Akibatnya, gelombang Tentara Nasional
Indonesia (TNI) secara besar-besaran masuk ke Aceh. Yang paling dominan adalah
aparat berbalok biru/pangkat biru, TNI AL.
Ilustrasi
Foto: TribunJatim.com
Ketika itu, hampir tak ada kampung di
Aceh yang tak dijelajahi TNI AL. Termasuk kawasan Meurandeh, Kecamatan Manyak
Payed, Kabupaten Aceh Tamiang.
Memang, Manyak Payed, khususnya
Meurandeh menjadi kawasan merah, yang banyak ditempati GAM. Baik dari Peureulak,
Deli Serdang (Sumut), dan beberapa wilayah lainnya.
Saya tak bercerita sepak terjang TNI di
Meurandeh. Tapi hanya ingin mengisahkan kondisi kami, para pelajar yang
hidup di pelosok pada masa konflik.
Halte
Sebagaimana biasa, kami pelajar atau
siswa, setiap paginya keluar dari rumah, berjalan kaki menuju halte, tempat
mangkal mobil angkutan. Sebenarnya tidak ada halte di pedalaman seperti
Manyak Payed. Yang ada hanya kios-kios sederhana berbahan kayu. Namun saya
menyebut halte, karena kami selalu menunggu mobil angkutan di tempat itu.
Memang pelajar dari Kampong Meurandeh,
Meunasah Paya, dan Kampong Mesjid harus menggunakan angkutan umum untuk sampai
ke sekolah, yang terletak di Tualang Cut, ibukota Kecamatan Manyak Payed.
Jaraknya tidak kurang dari 12 Kilometer. Terkadang kami mendayung sepeda ke
sekolah demi hemat biaya.
Pagi itu, saya bersama tiga siswa
lainnya sedang menunggu angkutan di halte. Saya bersama seorang teman masih
duduk di bangku kelas 2 MTsN. Dua orang lainnya merupakan siswa MAN. Artinya
mereka lebih senior dari pada saya.
Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB,
angkutan tak kunjung tiba. Biasanya, jam 08.00 kami sudah berada di sekolah,
tapi entah kenapa, hari itu hampir tak ada angkutan satu pun. Sehingga kami
mengira tak bisa hadir ke sekolah.
Tetiba, dari jarak 200 meter, kami
melihat warna hijau yang berjalan, menyusuri jalan aspal berlobang. Kami mulai
ketakutan, rasa deg-deg dalam hati begitu terasa. Tak butuh waktu lama, si
hijau tiba di hadapan kami yang masih duduk di halte.
Tiga orang seragam lengkap, dengan gagah
menenteng senjata dan menghampiri kami. Tanpa basa basi, seorang di antara
mereka langsung bertanya, “kalian kenapa tidak sekolah?” Dengan bahasa takut,
seorang teman menjawab, “kami sedang menunggu angkutan untuk sekolah”. Mereka
kembali berkata dengan bahasa membentak, “sudah jam 8 kalian belum sekolah?”.
Ilustrasi
Sigap saja mereka meminta kami baris.
Tak terkira, entah apa yang akan kami rasakan bila telah berurusan dengan
aparat Indonesia kala itu. Apalagi kami telah biasa menyaksikan dan mendengar
keluh kesah pemuda dan para lelaki di kampung yang selalu mendapat sedikit
pukulan dari aparat.
Saya, bersama teman siswa lainnya
menuruti perintah berbaris, seperti saf salat. Setelah berbaris rapi di jalan
beraspal. Mereka memerintahkan kami untuk membaca pancasila. Tidak seperti
paduan suara, mereka menyuruh kami menyebutkan satu pancasila sesuai urutun
barisan.
Saat mendengar perintah itu, hati saya
berdebar. Dan kawan saya mungkin merasakan hal yang sama. Mengapa tidak, saya
pribadi tidak hafal poin-poin pancasila. Demikian juga teman lainnya, tak ada
yang hafal pancasila seutuhnya.
Nasib saya sedikit beruntung, sebab
berdiri di urutan pertama. Artinya saya harus baca sila pertama. Tentu ini sila
yang paling mudah dan hampir semua orang menghafalnya. Andai saya berdiri di
urutan kedua, tentu lenyaplah saya, sebab tak mampu menghafal selain sila
pertama.
Segera aparat menunjuk saya untuk
memulai bacaan. Dengan tubuh bergetar, saya membaca sila pertama,
"Ketuhanan Yang Maha Esa". Setelah mengucap itu, perasaan saya
sedikit lega, karena mampu melewati ujian berat. Mungkin sangat tidak berat
bagi siswa zaman now, bahkan siswa tingkat Sekolah Dasar sekalipun. Namun tidak
sama dengan masa kami sekolah, yang kadang tak pernah upacara di sekolah, atau
sekolah kami hangus dibakar.
Sila berikutnya diperintah pada teman
saya, siswa kelas 2 MAN. Beruntung dia mampu menghafal dengan mudah sila kedua.
Dia pun melalui dengan mulus.
Selanjutnya diteruskan oleh yang berada
pada posisi ketiga. Kami yang telah membaca, memperhatikam secara saksama
bacaan teman. Dan teman yang belum dapat jatah, terlihat ketakutan. Mulut
mereka komat kamit. Sepertinya mereka sedang mengingat dan menghafal pancasila.
Naas, teman yang dapat jatah sila ketiga
tak mampu menyebutnya. Langsung aparat naik spaning/marah. Dengan melemparkan
kata-kata yang tak seharusnya. “Kalian ngapain aja di sekolah, pancasila saja
tidak hafal?.”
Sentak, kawan yang gagal menyebut sila
ketiga diperintah tiarap, lalu push up 50 kali. Tanpa
mengelak, apalagi hendak membantah, si kawan langsung menunaikan perintah.
Memang, badannya tinggi, kekar, dan terlihat amat jantan.
Sembari mengontrol yang push up,
aparat memerintah kawan saya yang berada pada urutan keempat untuk menyebut
sila ketiga. Lagi, si kawan ini diperintah push up. Kawan satu
ini agak sedikit lemah. Jika perempuan bergaya lelaki disebut tomboy, si kawan
ini justru sebaliknya.
Ia pria yang jarang olahraga. Tubuhnya
tinggi, namun terlihat lemah. Segera ia tiarap, lalu push up sesuai
intruksi. Kami yang lulus ujian pancasila merasa cemas. Namun ada lucunya juga.
Melihat gaya push up yang
berbeda, sang aparat membentak si kawan. Kenapa kau push up macam
perempuan? Segera ia merespon, "tangan saya terkilir sebab main bola
kemarin sore."
Dalam takut, saya tersenyum mendengar
jawabannya. Sebab kami tau persis, dia pria yang tak hobi olahraga, apalagi
sepak bola yang menyita banyak tenaga. Toh kami paham, tangannya tidak
terkilir.
Tapi aparat percaya bahwa ia sedang
sakit, tangan terkilir. Sehingga jatah push-up 50 kali
dikurangi jadi 30 kali. Intinya denda tidak boleh tidak. Hampir saja kami
tersenyum melihat gelagatnya. Andai masa konflik senyum menjadi suatu yang
menyenangkan aparat, tentu saya akan tersenyum. Tapi karena mereka tak butuh
senyum, maka kami menahannya. Karena senyum di depan mereka bukan kebaikan,
tapi petaka yang akan mendatangkan amarah pria-pria bersenjata itu.
Usai denda, kami kembali dibariskan.
Kali ini, kami diperintah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tak ubahnya grup
paduan suara.
Jujur, saya tak hafal lagu kebangsaan
itu. Andai saja disuruh nyanyi satu per satu, pasti kami bakal kena sanksi
semua. Beruntung, kami diperintah menyanyikan secara bersama-sama. Sehingga tak
terlihat bodohnya, alias tak hafal lagu Indonesia Raya.
Ketika sampai pada bait-bait yang tak
terhafal, saya mengecilkan suara, agar tak terdengar salah menyanyikannya.
Namun mulut tetap bergerak, seolah-olah mahir sekali.
Seorang teman, siswa MAN mampu
menyanyikan dengan sempurna. Berkat suara besarnyalah membuat suara saya yang
entah apa saya baca, tak terdengar oleh aparat. Andai mereka tahu saya tak bisa
lagu Indonesia Raya, entah apalagi sanksi yang menimpa kami.
Setelah sesi ini selesai, kami
dilepaskan, angkutan pun tiba. Kami menuju sekolah.
Abu Teuming
Direktur LSM K-Samara
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.