ISU sedang hangat di dunia maya dan dunia nyata saat ini terkait aneuk meudagang/santri yang mencari
sedekah untuk pembangunan. Mereka keliling kampong, kota, dan masuk ke
toko-toko.
Alhasil, ada sosok pria separuh baya yang memvideokan hingga viral. Konon
katanya ada bahasa yang kurang enak didengar dari mulut pria itu. Bahkan
terkesan pedas hingga melukai kaum dayah dan simpatisan.
Saya tak ingin mengkritik statemen lelaki berstatus pegawai pemerintah itu.
Tapi hendak melihat dari sisi lain.
Mengapa tak ada komen, terutama pria berkumis itu pada mahasiswa yang kerap
mencari sumbangan di simpang jalan. Mereka buat posko di simpang lampu merah,
guna mengumpulkan dana untuk suatu musibah. Ntah itu kebakaran rumah, banjir,
dan sebagainya.
Bahkan mereka bercampur baur antara laki dengan perempuan hingga malam, atas
nama kepedulian. Aktivis peduli umat. Saya kerap melihat itu di persimpangan
lampu merah. Dalam benak saya, mereka sangat mulia, rela berdiri di terik
matahari, bahkan sampai tengah malam demi mencari sumbangan, membantu orang
kesusahan. Tentu ini hal yang tidak semua orang rela mengerjakannya.
Nah, berbeda dengan santri. Yang keliling untuk cari sumbangan cuma lelaki,
tak ada perempuan.
Sisi lain yang mau saya katakan adalah sikap cuek pemerintah negeri ini
pada perkara agama. Mengapa? Sebab dayah tidak diberi perhatian serius, biaya
pembangun gedung tidak seberapa, kadang pun tidak dapat bantuan. Meskipun sudah
ada Dinas Pendidikan Dayah.
Karena itu, santri dan teungku-teungku
dayah mencari sedekah untuk bangun balai atau bilek (asrama). Bukan gedung mewah seperti sekolah atau kampus, yang
luas ditambah perkarangan indah.
Lihat fasilitas sekolah dan kampus, serba mewah, walau sebagian kecil masih
ada yang gedung sederhana. Tak ada siswa dan mahasiswa yang turun ke lapangan mencari
sedekah untuk bangun kampus/sekolah atau asrama, sebab pemerintah tak sungkan
mengucurkan anggaran untuk mereka, asalkan pendidikan formal itu mampu bersaing
dengan asing.
Perlu diingat, teungku-teungku
dayah bukan tipe manusia yang giat bawa proposal pada pemerintah. Apalagi prosedur
yang membosankan. Mereka lebih tertarik mencari sumbangam umat, agar gedung
yang dibangun berkah, bernilai ibadah jariah bagi penyumbang. Sumber uang lebih berkah, sebab hasil dagangan dan pertanian. Beda dengan bantuan pemerintah, yang sumbernya dari hasil pajak, ntah itu minuman keras dan sebagainya yang kadang ada syubhatnya
Hal lain yang perlu diketahui, rasa taat santri pada gurunya. Mereka tidak akan
menolak apa pun perintah guru, kecuali dalam hal negatif. Atas nama positif, santri
akan ta’dhim pada gurunya. Jadi saat santri
mencari sumbangan, bukan melemparkan pernyataan “orang tua menitip anak ke dayah
bukan untuk cari sedekah, tapi untuk belajar”. Semestinya harus diapresiasi, sebab
ia telah menjadi anak beradab, patuh pada guru, dan rela berjuang demi agama Allah,
walau hanya sebatas cari sumbangan untuk mendirikan dayah.
Jika kita sadari, sebenarnya Allah hendak menambah rezeki anda dengan
bersedekah padanya, lalu Allah balas dengan cara lain yang tak engkau duga.
Saat peminta sedekah datang, menghampiri umat, sebenarnya Allah hendak
menguji kita, sejauh mana kita akan berakhlak dengannya. Merasa marah atau
jijik karena penampilan peminta-minta biasanya terlihat kotor.
Hal terpenting dari ilmu adalah adab. Maka mereka para santri telah bersikap
adab pada pendidiknya, sebagai penunjuk kebaikan. Dan yang tak kalah penting diketahui, sejak dahulu dayah dibangun dengan swadaya masyarakat, walau hanya menyumbang selembar papan dan sejengkal tanah.
*Abu Teuming
Alumni Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.