Desember seakan menjadi bulan pilu di Aceh. Pada bulan ke-12 itu kerap ada bencana,
terlebih pada 2019 ada gerhana bulan Desember, yang juga kategori
bencana. Simulasi dan sosialisasi mitigasi bencana pun kerap dihelat pada bulan
tersebut. Bahkan, 26 Desember ditetapkan sebagai hari libur di serambi
mekah.
Beberapa hari lalu, saya sempat
menghadiri bedah buku terkait bencana seperti Smong Purba, Khutbah Bencana,
dan Jejak Bencana di Aceh. Buku ini ditulis oleh pakar dan sosok yang punya
pengalaman dalam hal bencana, Yarmen Dinamika bersama koleganya.
Saat mendengar pemaparan materi
bencana-bencana di Aceh, saya teringat kisah tsunami Aceh. Tsunami yang terjadi
2004 sangat banyak menyisakan kesedihan dan cerita bagi banyak orang, terutama
masyarakat Aceh.
Saya pribadi, punya cerita saat gempa
dan tsunami Aceh. Ketika itu saya masih kelas 3 MTsN di Kecamatan Manyak Payed,
Kabupaten Aceh Tamiang. Umurnya sekitar 15 tahun.
26 Desember 2004, bertepatan
dengan hari Minggu. Sebagai anak kampung, yang hidup di pedalaman Aceh Tamiang,
saya gunakan waktu libur sekolah untuk bekerja, demi biaya sekolah dan jajan
harian.
Konon di kampung saya, di Meurandeh
banyak pabrik arang yang telah beroperasi sejak ratusan tahun silam. Arang itu
diekspor ke luar negeri untuk berbagai kebutuhan masyarakat internasional.
Mayoritas masyarakat setempat bermata
pencaharian sebagai produsen arang, yang bahan bakunya pohon bakau (mangrove).
Saya juga memanfaatkan waktu libur untuk bekerja di pabrik arang, orang
setempat menyebutnya "dapu arang."
Pekerjaannya, memasukkan kayu bakau ke
dalam dapur hingga penuh, lalu kayu itu dibakar dalam kurun waktu 10 atau 15 hari hingga jadi arang, sesuai kondisi dapur. Bila telah jadi arang, saya juga
mengeluarkan arang dari tempat pembakaran. Persis seperti orang membakar bata
di pabrik bata (dapu bata).
Pagi itu, sekitar pukul 07.30 WIB, saya
keluar dari kediaman, menuju dapur arang yang berada di belakang rumah.
Tujuannya untuk mengeluarkan arang dari dalam dapur. Kebetulan, hari itu saya
bekerja di dapur toke, namanya Abubakar. Kami kerap menyapanya Wak Abu.
Sebelum pukul 08.00 WIB, saya dan Wak
Abu, serta beberapa rekan kerja lainnya sudah berkumpul di dapur milik Wak Abu.
Sesaat, kami ngobrol sambil melihat boat (sampan) warga yang berlalulalang
di sungai untuk mencari kayu bakau di tempat yang jauh dari pemukiman warga.
Lebih kurang, pukul 08.00 WIB, bumi
mulai berguncang. Kami yang tadinya berdiri, harus jongkok, sebab tidak kuasa
menahan ayunan bumi yang terlalu kuat. Beberapa di antara kami ada yang pusing. Pada jarak 20 meter, saya melihat
pekerja di dapur lain sedang mencari tempat aman dari bangunan kayu. Sepertinya
mereka juga merasakan gempa. Sebagian ada yang tiarap, agar tidak terjatuh.
Gempa kali ini memang sangat dahsyat,
berkekuatan 9.3 SR. Tidak seperti gempa biasanya yang berkekuatan di bawah 6 SR.
Gempa pun berdurasi agak sedikit lama.
Setelah gempa berhenti, kami mulai
saling cerita bahwa gempanya sangat dahsyat. Tetapi tidak ada bangunan yang roboh.
Ntah karena bangunan di Kampung Meurandeh mayoritasnya berbahan kayu.
Sesaat kemudian, dari arah barat Aceh
terdengar suara ledakan dahsyat. Kami menghitungnya, ada tiga kali ledakan yang
terdengar. Ledakan pertama dan kedua durasinya agak berdekatan. Sedangkan ledakan
ketiga terjadi sekitar satu menit setelah ledakan kedua. Ketiga dentuman
tersebut terdengar sama kerasnya.
Cerita terus berlanjut, bahkan cerita tentang
suara yang baru saja membuat kami heran. Kami saling bertanya: suara apa itu?
Di daerah mana suaranya?
Tidak ada seorang pun dari kami yang
mampu memberikan jawaban. Memang ketika itu Aceh masih konflik. Kontak senjata
antara GAM-TNI sudah sering terjadi di kampung kami (Meurandeh). Bahkan saya
pernah mengintip dari lobang dinding rumah, bagaimana GAM dan TNI saling
tembak. Kala itu saya dan pihak yang berperang hanya berjarak 10 meter. Tetapi
saya dan keluarga tiarap di dalam rumah.
Wak Abu merasakan aneh dengan tiga
ledakan itu. Tidak biasanya terdengar suara sedahsyat ini. Setelah memastikan
bukan suara bom atau kontak senjata, kami pun mulai bekerja. Karena kalau benar
kontak senjata, kami harus kembali ke rumah untuk berlindung. Begitulah keseharian
kami pada masa konflik, tidak bisa menjemput rezeki untuk keluarga, sebab
terhalang ancaman militer.
Di depan dapur Wak Abu ada sungai yang
melintang panjang hingga ke laut, tepatnya Selat Malaka. Pagi itu air sungai
tidak penuh, dan juga tidak sedikit. Namun air dalam keadaan surut. Istilah
masyarakat setempat "ie mate", artinya air sedikit.
Kami terus bekerja, mengeluarkan arang
dari dapur. Sekitar 10 menit bekerja, saya berkata pada Wak Abu: apa tidak
turunkan boat? Airnya sudah terlalu banyak surut.
Wak Abu kaget melihat boatnya yang
tersangkut di pinggir sungai, sebab airnya sudah surut hingga dasar sungai.
Padahal ia ingin boatnya tetap berada di air.
"Ya sudahlah, nanti saja diturunkan
boatnya", ucap Wak Abu dengan rasa heran.
Kami kembali bekerja mengeluarkan arang.
10 menit kemudian, saya melihat lagi ke arah sungai. Rasa heran menyelimuti
pikiran saya. Dalam hati terlintas: kok air sungai pasang lagi? Boat yang
tadinya tersangkut di darat mulai terapung di atas air. Tekanan air pasang
tidak deras. Dan hanya mengalir santai seperti biasanya.
Saya pun memberitahu pada Wak Abu dan
teman kerja. "Wak! Lihatlah, air sungai sudah pasang lagi. Boat tidak lagi
tersangkut.
Sekejap Wak Abu dan rekan kerja melihat
ke sungai. Dalam keadaan berdiri, Wak Abu berkata: aneh sekali. Sudah dua
keanehan terjadi pagi ini.
Kami berhenti bekerja sejenak, sambil
minum dan makan kue. Perbincangan tentang pasang surut air sungai mulai membuat
kami penasaran. Tidak ada dalam sejarah terjadi pasang surut dua kali dalam
waktu dekat, hanya berlangsung 10 menit.
Kami tidak tahu apa makna dari fenomena
ini. Dan tidak tahu apa yang terjadi. Kembali kami lanjutkan kerja hingga pukul 12.00 WIB. Setelah selesai kerja, barulah kami dapat kabar bahwa sudah terjadi
musibah besar di Banda Aceh dan Aceh bagian pesisir barat selatan.
Orang-orang bercerita, air laut naik ke
darat. Tidak ada yang tau pasti bahwa air laut itu bernama stunami. Sebab kami
belum pernah mendengar istilah tsunami.
Saya pun kembali ke rumah, dan melihat
hampir semua televisi menayangkan berita gempa dan stunami. Lambat laun, terkuak
bahwa suara ledakan tiga kali adalah patahan lempeng bumi yang terjadi di dasar
laut Samudra India.
Saya sendiri merenungkan betapa
dahsyatnya suara ledakan itu. Padahal antara Aceh Tamiang dan Banda Aceh
berjarak 469 Km. Sekitar 10 jam perjalanan menggunakan kendaraan darat (mobil).
Namun suara ledakan terdengar jelas. Ledakan dahsyat di luar dugaan manusia.
Kisah kecil ini, semoga membuat kita
siaga bencana.
Amiruddin (Abu Teuming)
Penyuluh Informasi Publik Kominfo RI,
Direktur lembaga Keluarga Sakinah Mawaddah dan Rahmah (K-Samara), dan anggota
kaderisasi Forum Lingkar Pena Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh.
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.