Penyuluh Agama Islam Juru Damai

Share:
Penyuluh Agama Islam Aceh Besar: Tgk. Mukam Zuhri dan Asnawi Lc 

PADA sepuluh terakhir bulan Oktober, saya dan rekan seperjuangan berkesempatan mengikuti kegiatan pembekalan di Kriyat Muraya, sebuah hotel megah di pusat Kota Banda Aceh. Memang, hotel berlantai 8 ini tidak pernah sepi dari kegiatan pemerintahan. Apalagi menjelang akhir tahun, jadwalnya padat.

Pagi itu, Senin 21 Oktober 2019, pukul 08:00 WIB. Banyak lelaki berpeci dan perempuan seragam muslimah mulai berkumpul di lobi hotel. Tidak kurang 100 orang yang tergabung dalam Penyuluh Agama Islam Non PNS hendak mengikuti kegiatan bertema "Peningkatan Kompetensi Penyuluh Agama Islam Non PNS yang Berkualitas dan Berakhlakul Karimah."

Tema yang disajikan memang penting dikaji dan diperdalam. Sejujurnya dua kalimat terakhir dari tema di atas wajib dipahami dan dipraktikkan. Konon era milenial ini banyak sekali kemerosotan akhlak di kalangan masyarakat. Terutama remaja, yang banyak terpengaruh dengan penyalahgunaan teknologi dan pergaulan bebas.

Kajian penting dari kegiatan ini adalah isu-isu perkawinan dan rumah tangga. Memang, membahas pernikahan suatu hal yang sensitif dan menarik perhatian publik. Sebab semua orang akan mengalaminya dan ingin menjalankannya. Baik yang muda, dan orang yang telah berumah tangga pun merasa penting membahas isu perkawinan.

Tidak heran, di lembaga pendidikan apa pun, ketika masuk bab pernikah selalu menjadi kajian menarik. Bahkan tidak cukup satu hingga tiga pertemuan. Yang uniknya, saat teungku sedang membahas bab shalat, terkadang muncul pertanyaan bab nikah dari jamaah. Hal ini menandakan persoalan itu sangat diminati. Konon mau bahas poligami, tetap jadi perhatian publik seperti isu rancangan Qanun Hukum Keluarga bulan lalu. Walau pun tidak semua orang berminat poligami, tetapi tetap masuk dalam daftar pembahasan menarik.

Kini, suami dan istri sama-sama punya power. Bila sudah niat bercerai, langsung merapat ke Mahkamah Syariyah. Di pengadilan tidak serta merta divonis cerai, namun wajib melalui jalur mediasi, atau menempuh jalan damai. Sebab tidak semua gugat cerai dan cerai gugat harus berakhir dengan perpisahan. Justru kerenggangan pasangan itu mesti dirapatkan, agar   hidup harmonis lagi di bawah satu atap, yaitu atap perpaduan cinta dua insan.

Seyogyanya suami istri tidak bercerai tanpa alasan syar'i. Kalau pun beralasan syar'i, alangkah baiknya tetap bertahan. Sebab orang yang bercerai itu banyak, tetapi yang bertahan walau dalam masalah besar itu sedikit. Maka Anda akan jadi pahlawan penyelamat rumah tangga. Wong GAM-RI saja bisa damai, padahal sudah berperang 30 tahun, masak suami istri yang ribut cuma dua atau tiga tahun langsung ngotot pisah? Alangkah baiknya tetap bersama, sebab bersama itu indah.

Beruntung, kami kehadiran Tgk Abdul Gani Isa, pemateri handal di bidang hukum keluarga, bahkan ahli hukum perkawinan yang pernah menjadi dosen senior di Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry. Guru ini pula seorang mediator di pengadilan.


Kami, peserta, dengan saksama mendengar penjelasan dan pengalaman pribadi pemateri saat menjadi mediator. Dengan riak wajah tersenyum, ia menjelaskan, pernah satu pasangan sah menghadapnya di meja mediator. Saat mediator mendengar penjelasan pihak konflik keluarga, kedua manusia itu saling membantah, memaki, dan menuduh pasanganya yang bersalah. Saat suami berdiri dari tempat duduk karena emosi, sang istri tidak mau kalah. Perempuan yang katanya pemilik sifat lembut itu pun berdiri, menentang suaminya yang berdiri gagah di hadapannya dan mediator. Seolah sang pria ingin menunjukkan bahwa dia mampu berbuat apa saja untuk membuktikan kesalahan istri. Dan si istri pun terkesan jauh lebih hebat dari suami.

Dalam kondisi darurat sipil (darurat rumah tangga) seperti itu, mediator pun bertindak, bahwa mereka sedang berada di kantornya, bukan di rumah mereka. Mediator bisa meminta keduanya keluar jika membuat keributan. Kedua kubu itu pun senyap, dan duduk mendengar penjelasan mediator.

Seperti diketahui, proses mediator merupakan tahap yang wajib diikuti bagi pasangan yang ingin cerai di pengadilan.

Cerita seperti di senetron itu membuat audiensi tersenyum renyah. Bukan tanpa alasan. Mereka membayangkan seorang istri juga lebih berani dan menantang dari suami. Yang mestinya istri itu taat pada suami. Walau dalam kondisi konflik parah dalam rumah tangga, yang tidak berujung pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Seandainya ingin bercerai, lalui dengan cara baik, dalam koridor aturan, tanpa membentak suami, dan tidak memaki istri. Sebab, sebelum hakim memvonis cerai, keduanya masih berstatus suami istri. Yang masing-masing punya hak dan kewajiban, terutama istri wajib taat pada suami. Minimal tidak membentak, atau berlagak super hero melebihi suami. Sebab Allah masih mencatat kelakuannya sebagai istri durharka. Begitu pula bapak yang bergelar suami, jika pun suami merasa benar, maka bersikaplah secara benar walau menghendaki suatu yang kurang benar (bercerai).

Apa lah arti, jika pernah menyemat gelar istri durhaka. Apalagi di ujung perpisahan rumah tangga, yang semestinya ditempuh jalan cerai karena ingin kebaikan setelah pisah.

Andai merasa sudah tidak mungkin lagi hidup bersama, sebab suaminya jahat, akan lebih baik istri tidak ikut jahat. Namun keinginan bercerai terus dilanjut saja.

Sesi akhir pertemuan, peserta dibekali fungsi penyuluh agama. Empat hal yang melekat pada penyuluh, seperti informatif, edukatif, advokatif, dan konsultatif.

Informatif, masyarakat yang tidak terbiasa dengan informasi keagamaan harus mendapatkan pencerahan. Lewat pengajian di majlis taklim, balai kajian agama, TPA dan mimbar khutbah. Informasi besarnya dosa meninggalkan salat harus diulang-ulang. Sebab shalat ibadah penting dalam Islam.

Hal yang tidak kalah urgen adalah akidah harus benar dan matang. Karena aliran sesat era industri 4.0 kian membahayakan generasi Islam di Aceh. Bagi penyuluh, tetap istikamah menyebarkan nasihat agama, karena itu tugas Anda. Yang memberi hidayah hak Allah.

Konsultatif, penyuluh harus menjadi pusat konsultasi berbagai kepentingan masyarakat, terutama hal ihwal agama. Giat memberikan pencerahan terhadap anak-anak milineal, yang pada dekade ini kian malas belajar, dan sibuk dengan kegiatan nihil manfaat. Juga harus mampu merangsang setiap orang agar terpikat dan jatuh cinta pada Islam. Dengan bukti mereka berminat mendalami agama, serta tidak pernah jenuh mengaktualisasikan norma Islam dalam keseharian.

Advokatif, penyuluh mesti peka sosial. Kesenjangan sosial dalam masyarakat memang suatu keniscayaan. Terutama isu-isu sensitif dalam menjalankan ibadah. Situasi ini harus mampu diredam. Masyarakat wajib merasakan tidak ada persoalan hidup, khususnya yang ada kaitan dengan perbedaan.

Poin pentingnya, penyuluh harus jadi juru damai dalam masyarakat. Memberikan pencerahan dalam beragam bentuk, khususnya anak-anak, agar mereka mampu membaca quran.

Edukatif, fungsi penyuluh agama sebagai motor pendidikan suatu hal yang pasti. Meski tidak seperti guru, penyuluh harus giat memberikan pendidikan agama terhadap umat. Bil khusus umat yang sama sekali tidak tersentuh agama, atau lalai dalam mempraktik agama.

Umat Islam yang alergi dengan ibadah, harus didoktrin bahwa ibadah yang enggan dilakukannya merupakan cara menyelamatkan mereka dari azab Allah. Selamat menjadi “Penyuluh Agama Islam sang Juru Damai”!

Penulis: Amiruddin (Abu Teuming), Penyuluh Agama Islam pada Kantor Urusan Agama Kec. Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Direktur lembaga Keluarga Sakinah Mawaddah dan Rahmah (K-Samara), tim Aceh Carong Disdik Aceh

No comments

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.