Beberapa hari lalu, saya bersama mujahid lainnya yang tergabung
dalam Forum Dakwah Perbatasan (FDP) melaksanakan program dakwah di Kabupaten
Aceh Singkil.
Tim dakwah terbagi dalam beberapa gelombang. Kelokpok terbang
(Kloter) pertama melayat lebih dahulu dari Banda Aceh ke Aceh Singkil. Tepatnya
di Pulau Haloban, Desa Ujung Sialik, Kecamatan Pulau Banyak. Lokasi yang
mayoritas ditempati oleh nonmuslim.
Para dai perbatasan melihat langsung kondisi Desa Ujung Sialik.
Kehidupan masyarakatnya terbilang jauh dari nilai-nilai Islam. Di Desa ini,
sulit sekali menemukan orang Islam. Jika pun ada, hanya pengunjung yang
bermalam beberapa hari saja.
Tim dai bermalam di sebuah masjid, yang dapat dikategorikan
masjid bernasib tragis. Masjid berukuran kecil ini terlihat kotor, banyak
laba-laba bergelantungan di atap. Atapnya rusak seperti tiada terurus. Bahkan
diceritakan telah menjadi tempat bermain binatang, khususnya anjing.
Sebelum para dai FDP tiba di lokasi, tidak pernah terdengar
suara azan di masjid kecil ini. Namun, denyut lantunan azan lima waktu mulai
terdengar saat tim safari perbatasan masuk wilayah itu. Mereka mengadakan
daurah, mendidik anak-anak perbatasan dalam rangka memperkuat akidah dan taat
pada Allah.
Sayangnya, tim safari hanya melaksanakan program dakwah selama
lima hari. Mereka manfaatkan waktu libur sekolah agar anak-anak bisa belajar
agama Islam dalam bentuk pesantren kilat. Kini, para dai tanpa bayaran itu telah
kembali ke Banda Aceh.
Kloter dua
Saya tergabung dalam gelombang (Kloter) kedua dari FDP. Kami
berangkat dari Banda Aceh dua hari setelah berangkat rombongan gelombang
pertama. Jumlah kami 8 orang, lebih sedikit dari gelombang pertama yang
mencapai dua belasan dai.
Target dakwah kami di Desa Lae Balno, Kecamatan Danau Paris,
Kabupaten Aceh Singkil. Kami bermalam di Masjid Baitul Makmur Lae Balno. Masjid
yang ukurannya lumayan besar, tapi sepi dari kegiatan keagamaan. Termasuk
jarang dilaksanakan shalat berjamaah. Saat tiba di lokasi, kami harus
membersihkan masjid yang terlihat kotor. Dan menyapu ruang-ruang imam yang
banyak sampah seperti tiada pengurus. Ruang itu pula kami gunakan untuk tempat
istirahat dan menyimpan barang.
Lae Balno merupakan sebuah desa yang penduduknya 50% muslim,
selebihnya nonmuslim. Desa yang berada dalam naungan Provinsi Aceh itu
berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara.
Gerbang perbatasan hanya berjarak satu kilometer dari tempat kediaman kami (masjid).
Saya berkesempatan melihat tugu/gerbang perbatasan, yang berada
di kaki gunung agak terjal. Di sina ada dua tugu. Tugu yang dibangun oleh
pemerintah Aceh (Aceh Singkil), berukuran besar, dan berbentuk gerbang yang
dominannya warna kuning. Satu lagi tugu yang dibangun oleh Pemerintah Sumatra
Utara. Tugu ini hanya berjarak 10 meter dengan tugu Aceh. Ukuran tugu lebih
kecil, tanpa atap, dan dicat kuning.
Di seputaran lokasi ini lah kami menjalankan misi dakwah.
Memperkuat akidah umat Islam perbatasan. Terutama para remaja yang jauh dari
sentuhan agama.
Setelah dua hari melaksanakan kegiatan pembinaan agama Islam,
beberapa orang di antara kami mendapat undangan khutbah Jumat di masjid
berbeda. Tapi masih dalam Kecamatan Danau Paris.
Saya diundang ke Desa Situbuh-Tubuh. Saat pertama mendengar nama
desa ini, saya hampir tidak bisa menyebutnya. Saya pun tidak menyebutkan nama
desa itu sebelum melihat bagaimana tulisan sebenarnya. Sebab takut terdengar
lain saat melafalkannya. Menurut penjelasan warga setempat, kata 'si' berarti
'tempat'. Sedangkan kata 'tubuh' berarti 'lahir'. Jadi bila digabungkan dapat dimaknai
dengan 'tempat lahir'.
Sebelum tampil berkhutbah, saya harus mempersiapkan materi yang
akan disampaikan. Sebab orang yang naik ke mimbar tanpa persiapan maka akan
turun tanpa penghormatan. Demikian pesan guru publick speaking saya,
Saifuddin Bantasyam saat tampil di Forum Aceh Menulis (FAMe).
Jadi saya harus mempersiapkan secara matang isi khutbah.
Terutama menggunakan bahasa yang jauh dari istilah ilmiah. Karena audiensi saya
hanya masyarakat biasa, yang terkadang bahasa Indonesia saja sulit mereka
pahami.
Ketika tiba di halaman Masjid Baitusshalihin, saya perhatikan
kondisi bangunan itu. Ukuran masjid tidak lebih dari 5x5 meter. Hanya ada satu
tiang penopang di tengah. Dinding masjid memiliki dua bahan dasar, beton dan
papan. Sebagian dinding dibuat beton, sebagiannya dibuat dari papan yang
terlihat rapuh. Masjid imut ini hanya mampu menampung 40 jamaah.
Tata laksana shalat Jumat persis seperti mayoritas pelaksanaan
Jumat di Aceh. Mereka awali dengan dua kali azan. Serta pembacaan doa dan shalawat
ketika menyerahkan tongkat pada khatib.
Sebagai alumni dayah, yang notabine bermazhab Syafii, saya
tetap mengulangi bacaan rukun dua khutbah setelah menyampaikan nasihat.
Di sini, Danau Paris, umumnya kawasan Aceh Singkil, tidak
penting membahas tata cara pelaksanaan shalat Jumat yang mesti dilakukan azan
dua kali. Tidak penting pula membahas khatibnya memegang tongkat atau tidak.
Atau memperdebatkan persoalan khutbah, yang wajib diulang pascatausiah. Apalagi
hendak mengklaim tidak sah Jumatnya bila tiada ulang khutbah.
Perselisihan seperti tongkat, azan dua kali, dan ulang khutbah
cukup terjadi di wilayah lain seperti, Banda Aceh dan pantai timur utara Aceh.
Di sini yang penting dilakukan adalah mengajak masyarakat agar taat pada Allah,
dan memperkokoh akidah dalam pergaulan dengan nonmuslim.
Tujuh orang
Saya ingin mengabarkan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat sebanyak
7 (tujuh) orang. Ditambah satu anak kecil yang usianya sekitar empat
tahun. Ia duduk manis di tiang tengah masjid. Sambil khutbah, saya perhatikan
bocah cilik itu, dengan pakaian rapi ala muslim, peci terhias indah di
kepalanya. Plus satu sajadah kecil terhampar di tempat ia duduk. Matanya tajam,
terus perhatian ke arah saya yang memberikan tausiah. terlintas,
"semoga Allah menjadikan anak ini dai di tempat ia dilahirkan."
Berselang dua meter, duduk seorang pemuda berseragam ala hitam,
tanpa peci. Selebihnya, di barisan depan terlihat imam masjid yang usianya
entah 70-an. Disebelahnya ada sosok bilal yang sebelumnya mengumandangkan azan.
Usianya tak kurang dari 50 tahun. Di sampingnya juga terdapat manusia paruh
baya, yang khusuk mendengar nasihat khatib.
Sedangkan di sebelah kiri, ada seorang pria, kepalanya selalu
menunduk. Jarang sekali ia menatap khatib. Sesekali ia menatap penceramah saat
nada dakwah terdengar keras. Rambutnya putih, kulitnya keriput. Badannya
terlihat lemah gemulai. Usianya lebih dari 60 tahun.
Satu orang lagi terlihat muda (35 tahun), yang berpakaian rapi
tak ubahnya ustaz. Namanya Muharuddin. Ia adalah dai perbatasan yang diutus
oleh Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh. Ustaz Muhar lah yang mengantar dan
menemani saya untuk khutbah di Desa Situbuh-Tubuh.
Di Desa Situbuh-Tubuh ini, saya memberikan khutbah pada jamaah
yang jumlahnya 7 (tujuh) orang. Saya tidak tahu, apakah ini jumlah jamaah
terbanyak atau paling sedikit.
Dalam perjalanan pulang ke markas di Desa Lae Balno, dai
perbatasan bercerita pada saya, "ya begitu lah kondisi di sini
ustaz". Ia mengatakan, hari Jumat ini lumayan ramai jamaahnya. Bila
datang tamu dan dai, biasanya pak imam mengumumkan pada masyarakat bahwa hari
Jumat ini akan diadakan kegiatan shalat Jumat. Agar tidak malu pada tamu,
masyarakat muslim diminta hadir ke masjid.
Ustaz Muhar pernah melaksanakan Jumat berdua saja. Ia yang azan,
khatib, dan imam. "Sedih sekali melihat kondisi ini", ucap Muhar pada
penulis. Padahal jumlah muslim di desa itu mencapai 50%.
Dua orang hadir pada saat shalat Jumat sudah membuat hati
senang. Toh biasanya memang tidak mengadakan shalat Jumat. Kalau pun para dai
datang untuk berkhutbah, jumlah jamaah tidak mencukupi, seperti dalam mazhab
Syafii yang mengharus 40 orang ahli Jumat, meskipun mazhab Hambali cukup tujuh
jamaah. Bahkan, Ustaz Muhar hampir tidak pernah melaksanakan shalat Jumat sebab
jamaah tidak memenuhi syarat.
Saat tiba di Masjid Baitul Makmur, Lae Balno, tempat para dai
FDP tinggal, saya harus melaksanakan shalat Dhuhur pengganti Jumat.
Amiruddin (Abu Teuming) Penyuluh Agama Islam pada KUA Kec.
Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Sekretaris Jenderal Warung Penulis, dan peserta
Forum Dakwah Perbatasan, melaporkan dari Aceh Singkil.
Promo www.Fanspoker.com :
ReplyDelete- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||
Hanya butuh 1 ID bisa main 8
ReplyDeleteJenis Permainan dan menjadi Jutawan.
Ayo Gabung bersama kami Bosku.
arena-domino.net
Buktikan Sendiri Bossku!