Sensasi Berkhutbah di Depan 7 Jamaah

Share:

Beberapa hari lalu, saya bersama mujahid lainnya yang tergabung dalam Forum Dakwah Perbatasan (FDP) melaksanakan program dakwah di Kabupaten Aceh Singkil.

Tim dakwah terbagi dalam beberapa gelombang. Kelokpok terbang (Kloter) pertama melayat lebih dahulu dari Banda Aceh ke Aceh Singkil. Tepatnya di Pulau Haloban, Desa Ujung Sialik, Kecamatan Pulau Banyak. Lokasi yang mayoritas ditempati oleh nonmuslim.

Para dai perbatasan melihat langsung kondisi Desa Ujung Sialik. Kehidupan masyarakatnya terbilang jauh dari nilai-nilai Islam. Di Desa ini, sulit sekali menemukan orang Islam. Jika pun ada, hanya pengunjung yang bermalam beberapa hari saja.

Tim dai bermalam di sebuah masjid, yang dapat dikategorikan masjid bernasib tragis. Masjid berukuran kecil ini terlihat kotor, banyak laba-laba bergelantungan di atap. Atapnya rusak seperti tiada terurus. Bahkan diceritakan telah menjadi tempat bermain binatang, khususnya anjing.

Sebelum para dai FDP tiba di lokasi, tidak pernah terdengar suara azan di masjid kecil ini. Namun, denyut lantunan azan lima waktu mulai terdengar saat tim safari perbatasan masuk wilayah itu. Mereka mengadakan daurah, mendidik anak-anak perbatasan dalam rangka memperkuat akidah dan taat pada Allah.

Sayangnya, tim safari hanya melaksanakan program dakwah selama lima hari. Mereka manfaatkan waktu libur sekolah agar anak-anak bisa belajar agama Islam dalam bentuk pesantren kilat. Kini, para dai tanpa bayaran itu telah kembali ke Banda Aceh.

Kloter dua
Saya tergabung dalam gelombang (Kloter) kedua dari FDP. Kami berangkat dari Banda Aceh dua hari setelah berangkat rombongan gelombang pertama. Jumlah kami 8 orang, lebih sedikit dari gelombang pertama yang mencapai dua belasan dai.

Target dakwah kami di Desa Lae Balno, Kecamatan Danau Paris, Kabupaten Aceh Singkil. Kami bermalam di Masjid Baitul Makmur Lae Balno. Masjid yang ukurannya lumayan besar, tapi sepi dari kegiatan keagamaan. Termasuk jarang dilaksanakan shalat berjamaah. Saat tiba di lokasi, kami harus membersihkan masjid yang terlihat kotor. Dan menyapu ruang-ruang imam yang banyak sampah seperti tiada pengurus. Ruang itu pula kami gunakan untuk tempat istirahat dan menyimpan barang.

Lae Balno merupakan sebuah desa yang penduduknya 50% muslim, selebihnya nonmuslim. Desa yang berada dalam naungan Provinsi Aceh itu berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara. Gerbang perbatasan hanya berjarak satu kilometer dari tempat kediaman kami (masjid).

Saya berkesempatan melihat tugu/gerbang perbatasan, yang berada di kaki gunung agak terjal. Di sina ada dua tugu. Tugu yang dibangun oleh pemerintah Aceh (Aceh Singkil), berukuran besar, dan berbentuk gerbang yang dominannya warna kuning. Satu lagi tugu yang dibangun oleh Pemerintah Sumatra Utara. Tugu ini hanya berjarak 10 meter dengan tugu Aceh. Ukuran tugu lebih kecil, tanpa atap, dan dicat kuning.

Di seputaran lokasi ini lah kami menjalankan misi dakwah. Memperkuat akidah umat Islam perbatasan. Terutama para remaja yang jauh dari sentuhan agama.

Setelah dua hari melaksanakan kegiatan pembinaan agama Islam, beberapa orang di antara kami mendapat undangan khutbah Jumat di masjid berbeda. Tapi masih dalam Kecamatan Danau Paris.

Saya diundang ke Desa Situbuh-Tubuh. Saat pertama mendengar nama desa ini, saya hampir tidak bisa menyebutnya. Saya pun tidak menyebutkan nama desa itu sebelum melihat bagaimana tulisan sebenarnya. Sebab takut terdengar lain saat melafalkannya. Menurut penjelasan warga setempat, kata 'si' berarti 'tempat'. Sedangkan kata 'tubuh' berarti 'lahir'. Jadi bila digabungkan dapat dimaknai dengan 'tempat lahir'.

Sebelum tampil berkhutbah, saya harus mempersiapkan materi yang akan disampaikan. Sebab orang yang naik ke mimbar tanpa persiapan maka akan turun tanpa penghormatan. Demikian  pesan guru publick speaking saya, Saifuddin Bantasyam saat tampil di Forum Aceh Menulis (FAMe).

Jadi saya harus mempersiapkan secara matang isi khutbah. Terutama menggunakan bahasa yang jauh dari istilah ilmiah. Karena audiensi saya hanya masyarakat biasa, yang terkadang bahasa Indonesia saja sulit mereka pahami.

Ketika tiba di halaman Masjid Baitusshalihin, saya perhatikan kondisi bangunan itu. Ukuran masjid tidak lebih dari 5x5 meter. Hanya ada satu tiang penopang di tengah. Dinding masjid memiliki dua bahan dasar, beton dan papan. Sebagian dinding dibuat beton, sebagiannya dibuat dari papan yang terlihat rapuh. Masjid imut ini hanya mampu menampung 40 jamaah.

Tata laksana shalat Jumat persis seperti mayoritas pelaksanaan Jumat di Aceh. Mereka awali dengan dua kali azan. Serta pembacaan doa dan shalawat ketika menyerahkan tongkat pada khatib.

Sebagai alumni dayah,  yang notabine bermazhab Syafii, saya tetap mengulangi bacaan rukun dua khutbah setelah menyampaikan nasihat.

Di sini, Danau Paris, umumnya kawasan Aceh Singkil, tidak penting membahas tata cara pelaksanaan shalat Jumat yang mesti dilakukan azan dua kali. Tidak penting pula membahas khatibnya memegang tongkat atau tidak. Atau memperdebatkan persoalan khutbah, yang wajib diulang pascatausiah. Apalagi hendak mengklaim tidak sah Jumatnya bila tiada ulang khutbah.

Perselisihan seperti tongkat, azan dua kali, dan ulang khutbah cukup terjadi di wilayah lain seperti, Banda Aceh dan pantai timur utara Aceh. Di sini yang penting dilakukan adalah mengajak masyarakat agar taat pada Allah, dan memperkokoh akidah dalam pergaulan dengan nonmuslim.

Tujuh orang
Saya ingin mengabarkan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat sebanyak 7 (tujuh) orang.  Ditambah satu anak kecil yang usianya sekitar empat tahun. Ia duduk manis di tiang tengah masjid. Sambil khutbah, saya perhatikan bocah cilik itu, dengan pakaian rapi ala muslim, peci terhias indah di kepalanya. Plus satu sajadah kecil terhampar di tempat ia duduk. Matanya tajam, terus perhatian ke arah saya yang memberikan tausiah. terlintas,  "semoga Allah menjadikan anak ini dai di tempat ia dilahirkan."

Berselang dua meter, duduk seorang pemuda berseragam ala hitam, tanpa peci. Selebihnya, di barisan depan terlihat imam masjid yang usianya entah 70-an. Disebelahnya ada sosok bilal yang sebelumnya mengumandangkan azan. Usianya tak kurang dari 50 tahun. Di sampingnya juga terdapat manusia paruh baya, yang khusuk mendengar nasihat khatib.

Sedangkan di sebelah kiri, ada seorang pria, kepalanya selalu menunduk. Jarang sekali ia menatap khatib. Sesekali ia menatap penceramah saat nada dakwah terdengar keras. Rambutnya putih, kulitnya keriput. Badannya terlihat lemah gemulai. Usianya lebih dari 60 tahun.

Satu orang lagi terlihat muda (35 tahun), yang berpakaian rapi tak ubahnya ustaz. Namanya Muharuddin. Ia adalah dai perbatasan yang diutus oleh Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh. Ustaz Muhar lah yang mengantar dan menemani saya untuk khutbah di Desa Situbuh-Tubuh.

Di Desa Situbuh-Tubuh ini, saya memberikan khutbah pada jamaah yang jumlahnya 7 (tujuh) orang. Saya tidak tahu, apakah ini jumlah jamaah terbanyak atau paling sedikit.  

Dalam perjalanan pulang ke markas di Desa Lae Balno, dai perbatasan bercerita pada saya, "ya begitu lah kondisi di sini ustaz". Ia mengatakan,  hari Jumat ini lumayan ramai jamaahnya. Bila datang tamu dan dai, biasanya pak imam mengumumkan pada masyarakat bahwa hari Jumat ini akan diadakan kegiatan shalat Jumat. Agar tidak malu pada tamu, masyarakat muslim diminta hadir ke masjid.

Ustaz Muhar pernah melaksanakan Jumat berdua saja. Ia yang azan, khatib, dan imam. "Sedih sekali melihat kondisi ini", ucap Muhar pada penulis. Padahal jumlah muslim di desa itu mencapai 50%.

Dua orang hadir pada saat shalat Jumat sudah membuat hati senang. Toh biasanya memang tidak mengadakan shalat Jumat. Kalau pun para dai datang untuk berkhutbah, jumlah jamaah tidak mencukupi, seperti dalam mazhab Syafii yang mengharus 40 orang ahli Jumat, meskipun mazhab Hambali cukup tujuh jamaah. Bahkan, Ustaz Muhar hampir tidak pernah melaksanakan shalat Jumat sebab jamaah tidak memenuhi syarat.

Saat tiba di Masjid Baitul Makmur, Lae Balno, tempat para dai FDP tinggal, saya harus melaksanakan shalat Dhuhur pengganti Jumat.

Amiruddin (Abu Teuming) Penyuluh Agama Islam pada KUA Kec. Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Sekretaris Jenderal Warung Penulis, dan peserta Forum Dakwah Perbatasan, melaporkan dari Aceh Singkil.

2 comments:

  1. Promo www.Fanspoker.com :
    - Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
    - Bonus Cashback 0.5% Setiap Senin
    - Bonus Referal 20% Seumur Hidup
    || WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    ReplyDelete
  2. Hanya butuh 1 ID bisa main 8
    Jenis Permainan dan menjadi Jutawan.
    Ayo Gabung bersama kami Bosku.
    arena-domino.net
    Buktikan Sendiri Bossku!

    ReplyDelete

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.