Suatu ketika Umi pulang dari pasar dengan menenteng sekantong
plastik transparan berisi jeruk. Tiba di gerbang rumah, Umi melihat ada
anak-anak tetangga dan anaknya sedang bermain ria di teras rumah. Sejenak ia
menghentikan langkah. Wanita berkulit putih itu mulai mencari jalan pintas. Ia
hendak masuk rumah tanpa mencuri pandangan anak-anak. Umi pun melewati jalan
belakang rumah, lalu masuk dari pintu dapur bak kilat menyambar.
Anak-anak yang asik bermain tak sempat menoleh ke arah Umi. Dalam
hatinya terlintas, "alhamdulillah, bocah-bocah itu tak mengetahu saya
pulang dengan plastik berisi buah-buahan".
Ia menutup pintu perlahan, menghindari suara 'gruk'. Dari dapur Umi
langsung masuk ke kamar beserta jeruknya. Abi yang dari tadi memperhatikan gelagat
Umi spontan menggelengkan kepala. Lalu Abi ayunkan langkah menuju kamar
mengikuti Umi. Ia menatap sang isteri yang duduk lesu di kasur.
"Duhai ibu dari anakku, mengapa engkau masuk rumah lewat
pintu belakang dengan secuil jeruk itu?", tanya Abi halus.
Umi terdiam. Raut wajahnya seakan memikul bumi.
"Duhai ayah dari anakku. Aku khawatir anak kita dan anak-anak
tetangga melihat apa yang daku bawa pulang dari pasar. Lalu mereka meminta
jeruk ini", jawab Umi sambil mengangkat plastik jeruk di pangkuannya.
Abi merasa aneh dengan ucapan Umi. Dengan bahasa santun ia
bertanya; "Mengapa sifatmu begitu duhai istriku?"
Umi menatap wajah suami. Di bola matanya mulai terlihat bola
kristal. Tiba-tiba tangisannya pecah hingga terisak. Sentak saja Umi merangkul
tubuh Abi dan memeluk erat. Suasana hening sejenak. Umi berusaha menenangkan
diri. Dalam pelukan Abi ia berucap; "Duhai suamiku, bukan daku kikir tak
ingin memberi jeruk itu pada anak-anak tetangga. Tapi daku sedih, sekantong
jeruk yang ku bawa pulang adalah sisa-sisa jeruk busuk yang dibuang orang ke
tong sampah. Aku mengambilnya sebab di rumah kita tak ada makanan sedikit pun yang
bisa mengganjal perut ini."
Tangisan Umi disambut dengan kesedihan Abi. Ia pun ikut menangis
dengan cerita wanita pujaannya. Abi merangkul Umi sambil menatap wajah kusut
isteri. Tangannya menyeka air mata yang mengalir di pipi Umi.
"Duhai isteriku, jangan khawatir dengan rezeki kita. Allah
tidak akan menghinakan kita dengan kemiskinan ini", cetus Abi menghibur
isteri.
-Abu Teuming. Penulis buku "Sepenggal Cerita di Lorong
Pesantren".
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.