Polisi di Penjara Suci

Share:
Cerpen
Polisi Di Penjara Suci

Wiw.... wiw... wiw...!!!
            Suara serinei menggema pojok desa di lereng gunung Seulawah. Gemeruh yang memekakkan telinga masyarakat setempat makin mendesah. Sebuah mobil bertuliskan patroli milik polisi lalulintas melaju pelan menyusuri sempitnya jalan berlobang bebatuan. Dibelakangnya disusul mobil mewah berkelas dunia berplat polisi A 4. Truck berbadan tinggi dipenuhi manusia berseragam cokelat dilengkapi senjata perang mengekor. Beberapa orang di kios kecil dan warung kopi sederhana yang dilewati tiga kendaraan misterius itu membuat mereka diselimuti segudang penasaran. Suasana yang membuat memori masyarakat mengingat duka masa konflik silam.
            Kendaraan itu berdiri tepat di gerbang pesantren Darul Muttaqin. Pria berpakaian seragam satlantas keluar dari mobil patroli. Ia tergesa-gesa berlari ke belakang hendak membukan pintu mobil mewah. Sosok pria setengah baya berpakaian rapi muncul. Lelaki yang sudah dikenal luas oleh masyarakat itu melangkah lembut menuju pesantren. Kiri kanannya diapit dua prajurit gagah. Pria nomor satu dalam jajaran Polisi Daerah itu menghadap Abu pengasuh pesantren Darul Muttaqin. Di kediaman Abu sudah mempersiapkan jamuan Polda dan rombongan. Kedatang pejabat itu diperlakukan khusus. Suasana ruangan memancarkan kebahagian.
            “Abu, seperti yang telah kami kabarkan. Tahun ini Polda akan menyantrikan dua belas prajurit polisi untuk menimba ilmu di pesantren selama enam bulan”, ucap Kapolda serius.
Selama ini lembaga kepolisan tercermar nama baiknya ulah oknum nakal. Pemilik senjeta legal itu tidak lagi jadi pengayom masyarakat yang diandalkan. Polda ingin memperbaiki instasi polisi di mata rakyat. Polisi wajib punya wibawa. Polisi walau fisiknya terdidik secara militer dan keras, namun jiwa dan hatinya harus terdidik dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Walau fisik kuat, tapi hati tetap lembut dan ikhlas mengabdi pada negara.
Dua belas polisi pilihan duduk bersama Abu didampingi oleh Polda. Polda memperhatikan prajurtinya. Ia menanam harapan besar pada mereka.
“Kalian ini pengaman bangsa, pelayan masyarakat. Belajarlah ilmu agama, tunjukan pada Indonesia, polisi berakhlak mulia juga masih banyak bersarang di instasi kepolisian. Kembalikan marwah lembaga”.
Riak wajahnya sedih. Ia menanam harapan besar. Polda mencanangkan saat mereka kembali ke lembaga kepolisian wajib mampu memimpin halaqah tiap minggu sekali di kantor area tugasnya.
Dua belas prajurit itu akan dibina ilmu agama dengan uang saku ditanggung instansi. Mereka diwajibkan mampu membaca kitab arab gundul dan minimal menguasai satu Juz Al-Aur’an.
“Kalian disini untuk belajar. Bukan untuk refresing. Enam bulan menghafal satu juz itu bukan hal pelik. Lihat adek musa yang usia lima tahun mampu hafal 30 Juz”, ucap Polda memotivasi mereka.
Polda mengalih pandangan ke arah Abu.
“Abu, terhadap anggota saya abu boleh melakukan apapun. Karena mereka berada dalam wilayah pemondokan. Saya hanya menghukum mereka jika melakukan tindakan kriminal dan melanggar kode etik kepolisian. Bila mereka membantah, Abu jangan sungkan memberitahukan pada saya”, ucap Polda yang telah pernah merasa dunia pesantren.
Abu tersenyum mendegar saran Kapolda. Memang setiap pesantren punya aturan, bahkan cukup ekstrim. Namun itu semua untuk kebaikan santri. Prajurit TNI dan Polri sudah populer sebagai manusia paling disiplin dan paling hormat pada atasan. Disiplin mereka harus merambah pada ibadah dan patuh pada guru.
Polda yang lulus pesantren gontor itu sangat peduli pada agama. Tidak kurang 5 tahun ia nyantri di pesantren darul muttaqin. Itu sebab ia sangat dekat dengan Abu yang juga gurunya sejak menimba ilmu dulu. Ia mahir berbahasa arab disamping mampu menghafal 23 Juz. Sangat jarang ditemukan sosok polda yang hafiz. Tahfiz itu memberikan nilai plus bagi polisi dalam melaksanakan tugas. Di sela-sela hari libur polda mengadakan pengajian rutin yang langsung diasuh olehnya kitab Ihya ‘Ulumuddin.
***
Polda meninggalkan pesantren. Abu langsung membentuk kelas khusus polisi terdiri dari dua belas santri.
“Mulai detik ini status kalian menjadi santri. Nanti kalau sudah keluar dari pesantren baru semat kembali gelar polisi”, ucap Abu humor. Semua Polisi itu tersenyum girang.
Seorang polisi bernama Danil diangkat jadi ketua kelas. Kali ini Abu mendidik santri yang tak berwatak seperti biasanya. Hal ini cukup berat bagi Abu. Disamping mereka masih dangkal agama, Abu mengemban amanah besar dari Polda. Nasib keamanan bangsa ini seolah berada digenggaman Abu. Bila ia gagal mendidik mereka. Tentu nama baik kepolisian akan bertambah buruk. Ia menepis fikiran itu. Ia akan berusaha mati-matian mendidik mereka menjadi polisi bersyari’at.
Pengajian malam pertama dimulai. Abu menyampaikan penjelasan isi kitab. Menjadi polisi adalah pilihan tepat. Karena selalu berusaha memberikan pertolongan bagi yang membutuhkan apalagi orang yang teraniaya. Tapi akan bernilai lebih bila polisi yang berkekuatan dengan senjata canggih tapi punya kekuatan ilmu agama”.
Santri terlihat tunduk. Mereka meresap semua pesan Abu. Tidak ada pengagajian yang mereka lewat. Mereka telah menjadi polisi paling beruntung di jajaran Polda. Setelah punya senjata, punya gaji yang terus mengalir setiap bulan tanpa bertugas, ditambah izin Polda menimba ilmu agama yang menyelamat mereka di dunia dan meloloskan penyiksaan di akhirat kelak. Tak semua rekan polisi mendapatkan kado istimewa ini.
Abu berpesan. Menegak hukum negara itu wajib. Namun menaati hukum Allah jauh lebih wajib. Jangan ada lagi unsur KKN di lembaga kepolisian. Penjaringan anggota baru harus murni. Menerima suap adalah perbuatan haram. Jadilah polisi yang pro agama. Tidak ada lagi sikap polisi yang arogan. Jangan ada lagi tindakan polisis yang tak mencerminkan pelayan keamanan. Sebagai keamanan polisi mesti mengorbankan tenaga dan jiwa untuk keamanan bangsa.
***
            Enam bulan tiba. Polda menjemput pasukannya di pemondokan. Suasana di pesantren terlihat ramai. Dua belas santri itu akan melepas status santrinya dan akan kembali menyangdang gelar polisi dengan berjuta tugas yang menanti. Mereka yang telah berbaur dengan santri lain serasa enggan berpisah. Tap perpisahan ini harus terjadi. Di luar masyarakat menanti kehadiran polisi yang peka agama dan pekerja keras.
Polda menghadap Abu.
“Terima kasih Abu telah membimbing mereka. Hanya Allah yang mampu membalas jasa ini”, ucap Polda.
Tiba-tiba mobil truck berdiri di gerbang pesantren. Perkakas bahan bangunan diturunkan. Hadiah Polda atas kebaikan Abu. Bahan baku yang cukup untuk membangun satu balai permanen.
            “Abu, hanya sedekah kecil ini yang mampu kami berikan untuk kepentingan rakyat disini”, ucap Polda.
            Abu terharu. Ia berat menerima pemberian sebesar itu karena hanya mendidik santri selama enam bulan.
“Mendidik umat sudah menjadi kewajiban saya. Tidak perlu membalas dengan material seperti ini”, ucap Abu enggan dengan pemberian.
Polda terdiam. Ia pun melepaskan uneg-uneg.
“Melayani umat juga tanggung jawab kami. Sedekah ini bentuk terkecil kepedulian kami atas nasib agama di negeri ini”.
Abu menerima dengan ikhlas pemberian Polda. Dua belas prajurit yang telah matang ilmu agamanya dibawa pulang ke markas Polda setelah berpamitan pada Abu dan segenap penduduk pesantren.
***
Hari pertama mereka masuk kantor langsung di disusun program oleh polda.
“Kalian wajib mengadakan pengajian seminggu sekali untuk anggota kepolisian lainnya”, ucap polda.
Danil kini menjadi andalan Polda dalam bidang agama disamping mengemban tugas wajib. Ia selalu mengisi pengajian mingguan dengan ratusan jama’ah khusus anggota jajaran Polda. Ia diberikan kendaraan dinas berupa mobil patroli pick up untuk menunjang tugasnya.
Malam itu Danil mendapat info dari Lurah tempat ia tinggal. Rumah seorang perempuan janda yang meninggal suaminya tiga bulan lalu di samperin pencuri. Namun penjahat itu tidak berhasil membawa kabur barang apapun. Janda beranak satu itu terus di teror lewat pesan misterius. Pesan singkat terus masuk ke nomor handphone si janda. Penjahat itu akan mendatangi setiap malam rumah janda muda itu untuk mencuri barang-barang berharga peninggalan suaminya.
Mendapat informasi itu Danil langsung merancang program. Pukul 23:00 Danil menggunakan mobil patroli datang ke rumah janda. Ia parkir mobilnya tepat di depan gerbang rumah sederhana milik janda. Suasana rumah seperti ada penghuni. Lampu menerangi setiap sudut rumah itu. Kondisi di jalan sunyi lengang. Danil nongkrong di teras kios kecil yang telah ditutup oleh pemiliknya. Jaraknya dengan parkiran mobil sekitar seratus meter. Tak ada seorangpun yang menemaninya. Pukul 02:00 penjahat yang meneror janda shalehah itu muncul dari arah selatan jalan. Pria berpakaian preman itu mendekat. Kepalanya dibalut topeng. Matanya menyorot ke arah gerbang rumah. Sebuah mobil patroli polisi terparkir tepat di depan gerbang. Dalam fikirannya teringat.
‘Apa di dalam rumah janda yang menolak lamaranku dulu itu ada polisi’. Ia ketakutan. Niatnya untuk menggasak rumah janda malam ini diurungkan. Danil terus memperhatikan lelaki berbaju hitam itu. Prian jahat itu pun menghindar. Danil masih tetap diam di teras kios yang gelap tanpa lampu. Ia duduk di kursi sampai ketiduran. Tiba waktu pagi baru ia meninggalkan rumah janda bernasib malang.
Danil polisi yang baik hati. Jujur mengemban amanah. Setiap malam ia merancang program yang sama untuk menjaga keamanan warga. Malam berikutnya ia melakukan hal yang sama. Pencuri itu datang setiap malam seperti pesan singkatnya yang pernah dikirim ke nomor handphoe janda.
Sampai malam ke tujuh Danil masih menetapkan jadwal untuk memberi keamanan pada warga. Jam pukul 03:00. Danil masih duduk terjaga di teras kios. Angin bertiup kencang malam itu. Hujan turun deras membasahi bumi. Danil kedinginan. Hanya ada kain tipis yang menyelimuti tubuhnya. Badannya mulai meriang. Sudah enam malam ia bergadang dan kurang tidur. Fisiknya mulai lemah. Air hujan merembes menetes di tubuhnya. Ia tidak bisa bergeser lagi. Karena atap kios banyak yang bocor. Matanya perih. Tubuhnya menggigil. Danil melihat bayang-bayang mendekati mobil patroli. Ternyata pria jahat kali ini datang berdua dengan koleganya. Danil siap-siap dengan perlengkapannya. Ia tidak bertindak apapun terhadap mereka. Matanya terus mengawasi maling itu.
Dua pencuri memperhatikan ke dalam mobil patroli lewat kaca. Tak seorang polisi yang berada di dalamnya. Mereka heran. Mobil ini setiap malam parkir di gerbang pintu janda cantik itu.
 “Apa kita bawa saja mobil ini?”, cetus bos penjahat.
Rekannya heran. Mobil polisi dicuri mau dibawa kemana. Dijual tak laku. Dipakai tak berani.
“Untuk apa mobil patroli?”, ucap temannya.
“Baiknya panjat saja pagar rumah janda itu lalu kita ambil barang berharganya. Toh polisi tidak ada”, saran anak buah.
Danil mulai waspada dalam kegelapan yang tidak diketahui keberadaannya oleh pria pemilik hati kotor itu. Keduanya mencari celah untuk masuk ke perkarangan rumah. Anak buahnya mulai memanjat pagar. Danil menekan remot penguncin pintu.
Woow wow wow... bunyi keras mengejutkan mereka. Anak buahnya jatuh dari pagar terkejut dengan suara disampingnya. Keduanya langsung ambil langkah kencang meninggalkan kediaman rumah janda. Kondisi pun mulai aman. Danil masih tetap bertahan di teras kios. Ia tak ingin ada masyarakat mengatahui dirinya sedang memberikan keaman pada janda korban teror. Ujan masih rintis. Badan Danil mulai panas. Tubuhnya tambah meriang. Ia tetap masih ingin memberikan keaman sampai ayam berkokok di pagi hari.
Danil terbangun ke siangan. Hari ini senin. Di kantor wajib apel. Ia pasti akan telat hadir. Tubuhnya mulai lemas. Ia langsung menuju mobil patroli di parkiran. Janda dan anaknya menyaksikan kendaraan patroli parkir tepat digerbangnya. Mereka keheranan. Danil langsung tancap gas ke rumah lalu berangkat ke kantor.
Pagar kantor ditutup. Semua jajaran polda sedang mengikuti upacara. Hanya Danil seorang yang terlambat. Usai upacara Danil diminta menghadap Kapolda. Bawahan yang diandalkan Kapolda hari ini telat. Ia berang. Danil melangkah segan ke ruang Kapolda.
“Kenapa hari ini engkau tak ikul apel?, tanya Polda marah.
Danil terdiam. Tubuhnya panas. Bibirnya pucat.
“Kenapa engkau hari ini telat?, teriak Polda mengulang pertanyaan. Polisi di luar ruang tersentak mendengar Polda marah besar. Tidak pernah Kapolda marah pada bawahannya. Tapi kali ini hatinya panas.
Danil masih terbujur diam.
“Ma ma ma’af pak!, pagi ini saya kesiangan”.
Bagaimana engkau jadi prajurit polisi jika sikap disiplinmu tak ada?. Bagaimana engkau melayani masyarkat jika waktumu sendiri tak bisa kau jaga?. Ucap Kapolda mukanya memerah.
“Bibirmu pucat, apa engkau mulai menelan narkoba?, sontak Kalpoda geram.
Danil ingin berbicara. Namun Kapolda terus memotong pembicaraannya.
“Sekarang kamu mau kasih alasan apa?”, tanya Kapolda meremas sehelai kertas di atas meja kerjanya.
Tubuh Danil lemas. Badannya menggigil. Ia berusaha berbicara.
“Pak, selama seminggu ini saya kurang tidur. Hingga fisik saya lemah jatuh sakit”.
Danil menceritakan apa yang dilakukan untuk rakyat beberapa malam ini. Ia tidur di atas kursi kayu di teras kios. Angin malam terus menusuk pori-porinya. Hingga terpa badai kencang di susul hujan deras sampai ia sakit demi memberikan kemanan pada masyarakat yang akan menjadi korban kejahatan.
Kapolda terdiam. Ia menetes air mata. Ia hampir tidak percaya Danil andalannya melakukan itu. Hatinya merasa malu. Ia merasa dirinya itu pelayan masyarakat paling baik. Ternyata bawahannya jauh lebih baik. Kapolda terharu. Ia sebagai manusia meminta maaf pada bawahannya yang telah berburuk sangka. Danil tersenyum dalam kesakitan. Tubuhnya tak kuasa untuk duduk kelamaan.
Saat itu pula Kapolda memberikan penghargaan kepada Danil sebagai polisi teladan dalam memberikan keamanan.

*Abu Teuming. Penulis buku 'Sepenggal Kisah di Lorong Pesantren". Dan Anggota FLP Banda Aceh.

No comments

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.